Perang Qadisiyah Tahun 14 Hijriyah

Setelah kabar kekalahan kaum muslimin pada perang jembatan  sampai ke Madinah, Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu menyemangati tentara Islam untuk berjuang di Irak dan Persia. Umar sendiri membentuk pasukan di luar kota Madinah, sehingga banyak sekali kaum muslimin yang ikut bergabung untuk berjihad. Umar berkeinginan memimpin sendiri pasukan perang tersebut, tetapi beberapa sahabat memintanya untuk tetap tinggal di Madinah dan mengutus Sa’ad bin Abi Waqqash. Mereka meminta Umar untuk tetap tinggal di Madinah, agar dia mampu mengirimkan bantuan ke Iraq atau daerah lainnya, jika itu diperlukan.[1]

Setelah adanya perintah, sempurnalah mandate kepada Sa’ad bin Abi Waqqash untuk memimpin pasukan berjihad di Iraq. Umar juga memberikan perintah kepada sisa tentara Islam yang masih ada di Iraq di bawah pimpinan Al Mutsanna untuk bergabung di bawah pimpinan Sa’ad.[2]

Akhirnya Sa’ad sampai ke Iraq dengan membawa 4 ribu orang pasukan. Jarir bin Abdullah Al Bajali radhiyallahu ‘anhu lalu bergabung dengan tentara kaum muslimin, sedangkan Mutsanna bin Haritsah meninggal dunia karena lukanya sebelum Sa’ad sampai ke Iraq. Namun, sebelum meninggal dunia Al Mutsanna radhiyallahu ‘anhu telah meninggalkan pesan penting untuk Sa’ad, tentang bagaimana memerangi Persia dan jalan terbaik untuk mengalahkan mereka.[3]

Sa’ad bersama tentara Islam lalu mendirikan kemah di daerah Al Qadasiyah selama hampir satu bulan, sehingga jumlah pasulan mencapai sekitar 30 ribu orang mujahidin. Persia pun telah mempersiapkan pasukannya hingga mencapai jumlah sekitar 120 ribu pasukan. Raja Persia juga telah memilih jenderalnya yang terkenal, Rustum untuk memimpin pasukan melawan tentara Islam. Rustum  dan Raja Persia berusaha memberikan ampunan kepada Sa’ad tetapi Sa’ad tetap bertahan memimpin tentara Islam. Melihat hal itu, Rustum pun bergerak hingga mendekati perkemahan tentara Islam di Al Qadasiyah.[4]

Berlangsunglah beberapa kali perundingan antara tentara Islam dan pasukan Persia, sebelum perang meletus. Rustum meminta tentara Islam untuk mengirimkans eorang utusan untuk berunding dengannya secara langsung. Utusan yang dikirimkan oleh Islam adalah Rib’i bin Amir yang terkenal sebagai perunding dari kubu kaum muslimin. Dalam melakukan pertemuan itu, Rustum melakukan beberapa persiapan, antara lain, menyiapkan singgasananya yang dibanggakan, dan menghiasinya dengan bantal-bantal yang dipoles dengan emas dan sutra. Dia juga memamerkan perhiasannya, meletakkan beragam perhiasan yang dibentangkannya dan dilingkari emas dan perak. Rustum lalu duduk ditengah-tengah perhiasan itu di atas ranjang dari emas.

Rib’i menemui Rustum dengan baju yang sudah lusuh dan bertambal, membawa pedang dengan santun dan menaiki seorang kuda kecil. Ketika Rib’i sampai ke tempat Rustum, dia masuk dengan mengendarai kudanya sehingga kuda itu menginjak kain-kain sutra itu, lalu dia mencabut (mengambil) sedikit kain sutra yang terbentang itu dan mengikatkannya ke kudanya, setelah itu dia menghadap kepada Rustum sambil membawa pedang kecilnya.

Orang Persia itu lalu berkata, “Letakkan pedangmu!” Rib’i  menjawab, “Aku datang bukan dengan keinginanku sendiri, tetapi ini atas undangan kalian. Maka biarkanlah aku sesukaku, atau aku akan kembali pulang!” Rustum lalu memerintahkan bawahannya untuk membiarkan Rib’i. Rib’i  menhadap Rustum sambil bersandar pada tombak yang ditancapkan di atas karpet dan bantal itu, sehingga sebagian bantal itu rusak. Lalu Rustum mulai berbicara, “Apa yang membuat kalian (kaum muslimin) datang kemari?” Rib’i menjawab, “Allah telah memerintahkan kami untuk mengeluarkan orang yang Allah kehendaki, dari penyembahan terhadap makhluk menuju penyembahan kepada Allah. Dan untuk mengeluarkan manusia dari sempitnya dunia menuju keluasannya. Untuk mengeluarkan manusia dari kezhaliman agama-agama yang ada menuju keadilan Islam. Maka kami diutus dengan Agama-Nya kepada mahluk-Nya, agar kami menyeru mereka kepada agama-Nya. Jika mereka mau menerima Islam, maka kamu pun menerima mereka dan meninggalkan mereka (tidak memerangi mereka). Akan tetapi jika mereka menolak, kami pun akan tetap memerangi mereka hingga kami mendapatkan janji Allah.”

Rustum berkata, “Apa yang telah dijanjikan oleh Allah?” Rib’i menjawab, “Surga bagi mereka yang meniggal ketika memerangi mereka yang menolak, dan kemenangan bagi mereka yang hidup.” Rustum berkata, “Apakah kalian dapat menunda masalah ini (perang) sampai kami mempertimbangkannya?” Rib’i menjawab, “Baiklah, kami akan memberi tenggang kepada kalian selama tiga hari.” Lalu Rustum memintanya lebih dari tiga hari. Maka Rib’i berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengajari kami untuk memberi waktu tenggang kepada musuh lebih dari tiga hari.” Kemudian Rustum berkata kepada Rib’i, “Apakah kamu jenderal kaum muslimin?” Rib’i menjawab, “Tidak, aku bukan jenderalnya, tetapi kaum muslimin itu seperti satu tubuh, bagian bawahnya bersatu dengan bagian atasnya.” Setelah itu Rustum mengumpulkan komandan perangnya, dia mendiskusikan apa yang dikatakan oleh Rib’i kepada mereka.  Akhirnya mereka memutuskan untuk perang melawan tentara Islam, mereka tidak mau memeluk Islam, atau membayar jizyah (pajak). Dua belah pihak pun akhirnya bersiap-siap untuk melangsungkan pertempuran.”[5]

Berkecamuklah peperangan yang sengit antara tentara Islam dan pasukan Persia, namun ketika itu Sa’ad bin Abi Waqqash  terkena penyakit bisul yang menjadikannya tidak mampu mengendarai kuda, untuk itu dalam mengontrol tentara kaum muslimin, Sa’ad memberikan komando dari atap sebuah rumah.[6]

Pasukan Persia pada perang ini telah menyiapkan sejumlah gajah karena keefektifannya pada perang jembatan sebelumnya, yang membawa kemenangan di pihak mereka. Pada hari pertama, gajah berhasil memberikan dampak positif bagi pasukan Persia, karena kuda-kuda tentara Islam menjadi takut dan tidak berani untuk bergerak maju.

Oleh sebab itu, beberapa tentara Islam pemberani bergerak maju dengan berjalan kaki, tanpa tunggangan kuda. Mereka pun berhasil, meskipun itu sangat membahayakan diri mereka, mereka dapat menjatuhkan penunggang-penunggang gajah dan para komandonya. Dengan demikian, gajah-gajah itu tercerai berai sehingga pengaruhnya terhadap tentara Islam berkurang. Korban jatuh dari pihak Islam di hari pertama perang berjumlah lebih dari 500 orang syahid, dan hari pertama perang tersebut dijuluki sebagai hari Armats.[7]

Pada pagi hari berikutnya, atau hari kedua peperangan, datanglah bantuan dari tentara Islam yang bergerak dari negeri Syam atau perintah Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu ‘anhu. Tentara Islam tersebut dipimpin oleh Hasyim bin Utbah bin Abu Waqqash radhiyallahu ‘anhu. Pasukan tersebut dikepalai oleh Al Qa’qa bin Amr At Tamimi. Al Qa’qa’ membagi pasukannya ke dalam kelompok-kelompok berisi sepuluh orang tentara. Tujuannya agar pada setiap serangan yang telah ditentukan waktunya, jumlah pasukannya tetap. Mereka sengaja menerbangkan debu yang banyak, agar menjadikan musuh mengira bahwa jumlah tentara Islam sangat banyak. Kedatangan bantuan yang datang secara beransur-ansur dan memerlukan waktu yang lama, telah menjadikan pasukan Persia takut. Dilain pihak, tekad tentara Islam semakin kuat. Keuntungan psikologis tersebut memungkinkan Al Qa’qa dan pasukannya untuk masuk ke tengah-tengah medan perang dan memudahkannya membunuh beberapa pemimpin besar Persia. Untuk menhindari debu yang berterbangan, tentara Islam mengikatkan diri dengan unta-unta yang mereka naiki. Mereka menutupi unta mereka dengan kantong dan mengarahkan unta-unta ke arah kuda-kuda pasukan Persia. Pasukan Persia pun berlarian. Pada hari itu tanda-tanda kemenangan tentara Islam telah terlihat. Hari itu kemudian disebut dengan hari Agwats (bala bantuan), karena bantuan untuk tentara Islam telah datang.[8]

Pada pagi hari berikutnya, yaitu hari ketiga peperangan, atau hari Umas, dimulailah perang untuk kesekian kalinya antara tentara Islam dan pasukan Persia. Pada hari itu, pasukan Persia kembali memanfaatkan tenaga gajah. Gajah-gajah tersebut berhasil melukai banyak tentara Islam. Akan tetapi para pemberani dari tentara Islam tetap kokoh menyerang kawanan gajah tersebut dan melawannya. Mereka menyerang mata gajah dan belalainya, sehingga gajah-gajah tersebut lari meninggalkan medan perang. Pada hari ini, mulailah kubu Islam lebih unggul setelah tentara Islam diuji dengan ujian yang baik. Menjelang malam, perang masih sengit berkecamuk, sehingga perang pun terus bergulir dalam kegelapan malam. Tentara Islam pun terus menyerang seperti perjuangan para pahlawan. [9] Tidak ada yang terdengar pada malam itu, kecuali suara pedang beradu. Malam itu lalu dikenal sebagai malam (Al Harir).[10] Tentara Islam pun mendapatkan ujian yang baik. Fajar pun menyingsing, tetapi perang tak kunjung selesai sehingga waktu dzuhur tiba, ketika pasukan Persia mulai melarikan diri dari medan perang. Tak terkecuali Rustum, sang pemimpin pasukan Persia, turut berusaha lari untuk menyelamatkan diri, nama usaha Rustum gagal, karena seorang tentara Islam pemberani mengejarnya dan membunuhnya. Pemimpin-pemimpin pasukan Persia yang lain pun turut terbunuh. Diakhir perang, kemenangan telah menemani tentara Islam. [11]

Perang ini adalah perang terpenting yang melibatkan pasukan Persia dan tentara Islam, karena dalam perang tersebut, tergabung pasukan terbaik Persia. Kekalahan yang diderita Persia ini memberikan efek yang sangat besar terhadap hancurnya keyakinan yang dimiliki Persia. Setelah perang tersebut tentara Islam mampu merebut kembali daerah-daerah yang dikuasai oleh Persia, setelah sempat dikuasai Islam. Tentara Islam pun sudah bisa mempersiapkan pembebasan kota-kota lain. Dari perang ini pula tentara Islam berhasil memperoleh banyak sekali ghanimah dan senjata yang dapat dimanfaatkan untuk membuka daerah baru.

Dikutip dari: Penaklukan Dalam Islam, DR.Abdul Aziz bin Ibrahim Al Umari, Penerbit Darussunnah

Note:

[1] Al Baladziri, Futuh Al Buldan 255. Ath Thabari, Tarikh Ath Thabari 4/83, Ibn Al Atsir, Al Kamil 2/450

[2] Khalifah ibn Khayyath, Tarikh Khalifah Ibn Khayyath 129. Al Baladziri, Futuh Al Buldan 255. Ath Thabari, Tarikh Ath Thabari 4/83, Ibn A’tsam Al Kufi, Al Futuh 1/73, Ibn Al Atsir, Al Kamil 2/451

[3] Ath Thabari, Tarikh Ath Thabari 4/88, Lihat pula: Khalifah ibn Khayyath, Tarikh Khalifah Ibn Khayyath 129, Al Baladziri, Futuh Al Buldan 256, Ath Thabari, Tarikh Ath Thabari 4/86, Ibn Al Atsir, Al Kamil 2/451

[4] Al Baladziri, Futuh Al Buldan 256, Ath Thabari, Tarikh Ath Thabari 4/81

[5] Lihat lebih detail cerita mengenai Rib’i  bin Amir bersama Rustum dalam kitab Ath Thabari, Tarikh Ath Thabari 4/106, Ibn Al Atsir, Al Kamil 2/463

[6] Ath Thabari, Tarikh Ath Thabari 4/113

[7] Ath Thabari, Tarikh Ath Thabari 4/119, Al MAs’udi, Muruj Adz Dzahab 2/321, Ibn Al Atsir, Al Kamil 2/469

[8] Ath Thabari, Tarikh Ath Thabari 4/120, Ibn Al Atsir, Al Kamil 2/473, Ibn A’tsam Al Kufi, Al Futuh 1/161

[9] Ath Thabari, Tarikh Ath Thabari 4/124, Ibn Al Atsir, Al Kamil 2/477

[10] Ath Thabari, Tarikh Ath Thabari 4/132, Ibn Al Atsir, Al Kamil 2/479

[11] : Khalifah ibn Khayyath, Tarikh Khalifah Ibn Khayyath 132, Al Baladziri, Futuh Al Buldan 259

Artikel: www.KisahIslam.net

Comments
All comments.
Comments