Biografi Ulama Tabi’in: Sa’id bin Musayyib [Bagian 04]

5. Keahliannya dalam Menafsirkan Mimpi

Adz-Dzahabi berkata, “Al-Waqidi mengatakan bahwa Said bin Al Musayyib adalah orang yang paling berkompeten dalam menafsirkan mimpi di kalangan masyarakat. Said mempelajarinya dari Asma’ binti Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anha sedangkan Asma’ sendiri mempelajarinya dari ayahnya.”

Dalam kitab Ath-Thabaqat, Ibnu Sa’ad meriwayatkan beberapa mimpi dan penafsiran Said bin Al-Musayyib terhadap mimpi-mimpi tersebut, yang kemudian dikutip oleh Adz-Dzahabi dalam kitab Sair-nya, yang di antaranya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan Amr bin Hubaib bin Qulai’, dia berkata, “Pada suatu saat aku berbincang-bincang dengan Said bin Al Musayyib, kemudian aku merasa ada sesuatu yang membebani pikiran dan menggoyahkan agamaku, kemudian seorang lelaki datang kepadaku dan berkata, “Aku pernah bermimpi bertemu dengan Khalifah Abdul Malik bin Marwan, lalu aku mendorongnya hingga jatuh ke tanah dan melukainya, lalu aku mengikat punggungnya dengan empat tali.”

Said bin Al-Musayyib bertanya, “Apakah mimpi kamu memang benar begitu?” dia menjawab, “Ya, benar!” Said berkata, “Aku tidak akan memberitahukan kepadamu walaupun kamu telah memberitahukan kepadaku.” Amr selanjutnya berkata, “Ibnu Zubair juga bermimpi serupa, sehingga dia pun menyuruhku untuk datang kepadamu.”

Said bin Al-Musayyib berkata, “Jika memang mimpinya benar seperti apa yang kamu utarakan, maka Ibnu Zubair akan dibunuh oleh Abdul Malik bin Marwam. Sedangkan, Abdul Malik sendiri akan melahirkan empat putera yang kesemuanya akan menjadi khalifah.”[1]

Amr selanjutnya berkata, “Kemudian aku bergegas menemui Khalifah Abdul Malik bin Marwan di Syam dan menceritakan mimpi dan penafsiran (Said bin Al-Musayyib) itu dan dia pun sangat senang.

Kemudian, sang khalifah bertanya kepadaku tentang Said dan keadaannya. Lalu aku beritahukan tentangnya, kemudian dia memerintahkan kepada pengawalnya untuk membayar hutang-hutangku dan aku pun mendapat banyak keberuntungan darinya.”

Dari Ismail bin Abi Al-Hakam, dia berkata, “Ada seorang lelaki berkata, “Aku bermimpi melihat Khalifah Abdul Malik bin Marwan mengelilingi shallallahu ‘alaihi wa sallam Masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak empat kali.
Kemudian, aku menceritakan mimpi ini kepada Said bin Al-Musayyib dan dia berkata, “Jika memang mimpimu benar seperti itu, maka Khalifah Abdul Malik bin Marwan akan mempunyai empat keturunan yang semuanya akan menjadi khalifah.”[2]

Ada juga yang bertanya, “Wahai Abu Muhammad, aku bermimpi seolah-olah aku berada di balik bayangan matahari, kemudian aku berdiri menatap matahari.” Said menjawab, “Jika mimpimu benar seperti itu, maka kamu akan keluar dari Islam.”

Laki-laki itu bertanya lagi, “Wahai Abu Muhammad, sesungguhnya aku melihat diriku dikeluarkan dengan paksa, sehingga aku berada di bawah terik matahari lalu aku duduk.” Dia berkata, “Kamu akan dipaksa untuk kufur (keluar dari Islam).” Perawi selanjutnya mengatakan, “Kemudian laki-laki itu benar ditawan dan dipaksa untuk keluar dari Islam, lalu dia dilepaskan. Dan, di Madinah dia menceritakan kejadian yang menimpanya itu.”[3]

Dari Imran bin Abdullah, dia berkata, “Hasan bin Ali bin Abi Thalib pernah bermimpi seolah-olah di kedua matanya terdapat tulisan “Qul Huwallahu Ahad (katakanlah bahwa Tuhan itu satu).” Kemudian, dia menceritakan mimpinya itu dan meminta penafsiran atau pendapat dari keluarganya. Lalu, mereka menceritakan hal itu kepada Said bin Al-Musayyib. Said lantas berkata, “Jika memang mimpinya benar seperti yang diceritakannya, maka katakanlah bahwa dia tidak akan hidup lebih lama lagi.” Akhirnya, dia pun meninggal dunia setelah beberapa hari.”[4]

Dari Syarik bin Abi Numair, dia berkata, “Aku berkata kepada Ibnu Al Musayyib, “Aku pernah bermimpi melihat gigiku banyak yang tanggal dan jatuh di telapak tanganku, kemudian aku menguburnya,” lalu Said bin AlMusayyib berkata, “Jika memang mimpimu itu benar seperti yang kamu ceritakan, maka keluargamu akan mengubur beberapa gigimu (yang tanggal).”[5]

Dari Syarik bin Abi Namr dari Ibnul Musayyib, dia berkata, “Korma yang terlihat dalam mimpi adalah rezeki yang akan ada setiap saat dan kesempatan, karena korma merupakan rezeki bagi pemiliknya.”[6]

6. Kewibawaan dan Perjuangannya Membela Kebenaran

Dari Imran bin Abdullah, dia berkata, “Said mempunyai hak atas harta yang ada di Baitul Mal sebanyak 30-an ribu. Dia diundang untuk mengambilnya, akan tetapi dia menolaknya. Dia berkata, “Aku tidak membutuhkannya, hingga Allah berkenan memberikan keputusan yang adil antara aku dan Bani Marwan.”[7]

Dari Ali bin Zaid, dia berkata, “Seseorang pernah berkata kepada Said bin Al-Musayyib, “Apa pendapat Anda tentang Al-Hajjaj bin Yusuf AtsTsaqafi yang tidak pernah mengutus seseorang kepada Anda dan tidak pula menyakiti Anda?” Said menjawab, “Demi Allah, hanya saja dia pernah masuk masjid dengan ayahnya, kemudian melakukan shalat yang tidak sempurna ruku’ dan sujudnya. Lalu, aku segera mengambil segenggam kerikil dan aku lemparkan kepadanya dan Al-Hajjaj pun berkata, “Aku merasa telah melakukan shalat dengan baik.”[8]

Dari Imran bin Thalhah Al-Khuza’i, dia berkata, “Pada suatu ketika, Abdul Malik bin Marwan menunaikan ibadah haji. Ketika sampai di Madinah dan berdiri di pintu Masjid Nabawi, dia mengutus seorang pengawalnya kepada Said bin Al-Musayyib untuk memanggilnya. Akan tetapi, Said bin Al Musayyib tidak memperdulikannya.

Kemudian, utusan khalifah itu mendatanginya dan mengatakan, “Penuhilah panggilan Amirul Mukminin yang sedang berdiri di pintu Masjid, dia ingin berbincang-bincang denganmu!” Dia menjawab, “Amirul Mukminin tidak mempunyai urusan apapun denganku, dan aku pun tidak mempunyai urusan sedikitpun dengannya. Kalau memang dia mempunyai keperluan denganku, pastinya itu salah alamat.”

Kemudian, utusan khalifah itu kembali dan melapor. Khalifah berkata, “Kembalilah dan katakan kepadanya bahwa aku hanya ingin berbicara dengannya dan tidak ingin apa-apa.” Lalu utusan itu berkata kepadanya, “Penuhilah undangan Amirul Mukminin!” Said pun menjawabnya seperti semula.

Akhirnya, pengawal itu pun berkata dengan berangnya, “Kalaulah dia tidak memerintahkanku untuk memanggilmu, maka aku tidak akan kembali menghadap kepadanya kecuali dengan membawa kepalamu. Amirul Mukminin hanya ingin berbincang-bincang denganmu dan kamu bersikap seperti ini!?” Said menjawab, “Jika memang Amirul Mukminin ingin berbuat baik kepadaku, maka Anda akan mendapat keuntungannya. Dan, jika dia menginginkan selain itu, maka aku tidak akan berdiri hingga harus ada seorang penengah di antara kami.”

Pengawal itu pun kembali dan melaporkan apa yang di dengarnya. Kemudian Amirul Mukminin berkata, “Semoga Allah memberikan rahmat kepada Abu Muhammad, dia memang bandel dan keras hati.”[9]

Dari Amr bin Ashim dari Salam bin Miskin dari Imran bin Abdullah bin Thalhah Al-Khuza’i, dia berkata, “Ketika Al-Walid resmi diangkat sebagai khalifah, dia datang ke Madinah. Setelah berada di Madinah, dia lalu masuk ke sebuah masjid dan melihat seseorang yang sudah tua dikelilingi banyak orang.

Al-Walid bertanya, “Siapa orang itu?” Orang-orang di situ menjawab, “Dia adalah Said bin Al-Musayyib.” Ketika sang khalifah duduk, dia mengutus pengawalnya untuk memanggil Said bin Al-Musayyib. Lalu, utusan khalifah itu pun mendatanginya dan mengatakan, “Penuhilah panggilan Amirul Mukminin!”

Dia menjawab, “Mungkin Anda salah menyebut namaku atau mungkin dia mengutus Anda kepada orang selain aku.”

Kemudian utusan khalifah itu kembali dan melaporkan sikap Said itu, sehingga membuat sang khalifah marah dan berniat untuk menghampirinya sendiri.

Pada saat itu, orang-orang masih ramai di dalam masjid, sehingga mereka menyambut sang khalifah dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, dia adalah ulama fikih di Madinah, pembesar kaum Quraisy dan juga teman dari ayahmu. Tidak ada seorang pun dari para khalifah yang bisa membuatnya memenuhi panggilan mereka.” Mereka mengatakan begitu berulang-ulang, hingga akhirnya sang khalifah pun pergi darinya.”[10]

Mungkin saja dia tidak mau memenuhi panggilan para khalifah tersebut karena melihat kezhaliman yang mereka lakukan dalam menjalankan pemerintahan. Buktinya, dia pernah memenuhi panggilan dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang pada saat itu sedang menjabat sebagai walikota Madinah.”

Ibnu Sa’ad dalam kitab Ath-Thabaqat dari Malik bin Anas mengatakan, “Pada saat Umar bin Abdul Aziz menjabat sebagai khalifah, dia tidak pernah memutuskan suatu perkara kecuali setelah meminta pendapat dan bermusyawarah dengan Said bin Al-Musayyib.

Pada suatu ketika, Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah mengutus pengawalnya untuk menanyakan suatu permasalahan. Kemudian, pengawal tersebut mengundangnya dan mengajaknya datang ke istana. Setelah Said datang, Umar bin Abdul Aziz buru-buru berkata, “Utusanku telah melakukan kesalahan, aku hanya ingin menanyakan kepadamu tentang suatu permasalahan di majelismu.”[11]

Dari Salamah bin Miskin, dia berkata, “Imran bin Abdullah telah memberitahukan kepada kami, dia berkata, “Aku melihat sosok Said bin Al-Musayyib adalah seorang yang lebih ringan untuk berjuang di jalan Allah dari seekor lalat.” [12]

Bersambung Insyaallah..

[1]  Thabaqat Ibnu Sa’ad 5/123 dan Siyar A’lam An-Nubala’ 4/235.

[2] Ibid.

[3] Thabaqat Ibnu Sa’ad 5/125 dan Siyar A’lam An-Nubala’ 4/236-237.

[4] Siyar A’lam An-Nubala’ 4/237.

[5] Thabaqat Ibnu Sa’ad 5/124.

[6] Ibid. 5 / 125.

[7] Thabaqat Ibnu Sa’ad 5/128, dan Siyar A’lam an Nubala’ 4/226.

[8] Thabaqat Ibnu Sa’ad 5/129, dan Siyar A’lam An-Nubala’ 4/226

[9] Thabaqat Ibnu Sa’ad 5/129 dan Siyar A’Iam An-Nubala’ 4/227.

[10] Thabaqat Ibnu Sa’ad 5/129-130, dan Siyar A’Iam An-Nubala’ 4/227.

[11] Ibid. 5/122.

[12] Tarikh al Islam 6/374, dan Hilyatul al Auliya’ 4/227

Sumber: 60 Biografi Ulama Salaf, Syaikh Ahmad Farid

Artikel: www.kisahislam.net

Facebook Fans Page: Kisah Teladan & Sejarah Islam

=

Comments
All comments.
Comments