Kisah Tabi’in: Rufai’ bin Mihraan (Abu Al-‘Aliyah)

Rufai’ bin Mihraan  yang dijuluki Abu Al-‘Aliyah termasuk ulama di antara kaum muslimin, tokoh di antara tokoh-tokoh penghafal Al-Qur’an dan muhadditsin. Beliau termasuk tabi’in yang paling tahu tentang Kitabullah, paling paham terhadap hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, paling banyak kadar pemahamannya terhadat Al-Qur’an Al-Aziz dan paling mendalami maksud dan rahasia yang terkandung di dalamnya. Maka marilah kita menelusuri sejarah hidupnya dari awal.

Sejarah hidupnya penuh dengan sikap teladan dan kemuliaan, melimpah dengan nasihat dan pelajaran yang berharga.

Rufai’ bin Mihraan lahir di Persi. Di negeri itu pula beliau tumbuh besar. Ketika kaum muslimin masuk ke negeri Persi untuk mengeluarkan penduduknya dari kegelapan menuju cahaya. Rufai’ termasuk salah satu pemuda yang jatuh ke tangan kaum muslimin  yang penyayang, lalu dibawa ke pangkuan mereka yang serat dengan kebaikan dan kemuliaan.

Kemudian beberapa saat dia dan juga yang lain memperlihatkan keluhuran Islam, lalu membandingkan dengan apa yang mereka anut sebagai penyembah berhala, akhirnya mereka masuk ke dalam agama Allah dengan berbondong-bondong. Kemudian mereka mulai mempelajari Kitabullah, mereka pun haus akan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Rufai’ bercerita tentang apa yang beliau alami:

Aku dan beberapa orang dari kaumku menjadi tawanan mujahidin, kemudian kami menjadi budak bagi sekelompok kaum muslimin di Bashrah. Tidak berapa lama kemudian akhirnya kami beriman kepada Allah dan tertarik untuk menghafalkan Kitabullah. Di antara kami ada yang menebut dirinya kepada majikannya dan ada  yang tetap berkhidmat kepada majikannya. Saya adalah salah satu di antara mereka. Pada mulanya kami menghafalkan Al-Qur’an setiap malam sekali, namun hal itu sangat memberatkan kami. Lalu kami sepakati untuk mengkhatamkan dua malam sekali, namun itu masih terasa berat bagi kami. Kemudian kami sepakat untuk mengkhatamkan Al-Qur’an tiga hari sekali, namun masih berat juga kami rasakan karena harus banyak bekerja siang harinya dan begadang di malam harinya.

Kemudian kami menemui sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengeluhkan keadaan kami yang harus begadang semalam untuk tilawah Kitabullah. Mereka berkata, “Khatamkanlah setiap Jum’at sekali.” Maka kami pun mengerjakan apa yang mereka sarankan. Kami membaca Al-Qur’an pada sebagian malam dan bisa tidur sebagian malam dan setelah itu kami tidak merasakan keberatan.

Rufai’ bin Mihran dimiliki oleh seorang majikan wanita dari Bani Tamim. Dia adalah seoang majikan yang teguh, cerdas dan terhormat juga jiwanya penuh dengan takwa dan keimanan. Rufai’ membantunya pada sebagian siang dan istrihat pada sebagian siang yang lain. Beliau gunakan waktu senggangnya untuk membaca dan menulis. Beliau pergunakan untuk memperdalam ilmu agama tanpa sedikitpun mengganggu tugas-tugasnya.

Suatu hari Jum’at, Rufai’ berwudhu dan memperbagus wudhunya kemudian meminta ijin kepada majikannya untuk pergi. Majikannya berkata, “Hendak kemanakah kamu wahai Rufai’?” Rufai’ menjawab, “Saya hendak ke masjid.” Majikannya bertanya, “Masjid manakah yang engkau maksud?” Jawabnya, “Masjid Jami’” majikannya berkata, “Kalau begitu marilah berangkat bersamaku.” Maka keduanya berangkat ke masjid lalu masuk masjid seperti yang lain. Namun Rufai’ belum memahami apa tujuan majikannya.

Ketika kaum muslimin telah berkumpul, majikan Rufai’ angkat bicara, “Saksikanlah wahai kaum muslimin, sesungguhnya aku telah memerdekakan budakku ini (Rufai’) karena mengharap pahal Allah, memohon ampunan dan ridha-Nya. Dan bahwasanya tidak layak seseorang menempuh suatu jalan melainkan jalan yang baik.” Lalu dia menoleh kepada Rufai’ dan berdo’a kepada Allah:

“Ya Allah, aku menjadikannya sebagai tabungan di sisi-Mu di hari dimana tiada manfaatnya harta dan anak-anak.”

Ketika selesai shalat, Rufai’ telah berjalan sendiri sedangkan majikannya telah berjalan sendiri pula.

Sejak hari itu, Rufai’ bin Mihran sering bolak-balik ke Madinah Al-Munawarah. Beliau sempat bertemu dengan Ash-Shidiq radhiyallahu ‘anhu beberapa saat sebelum wafatnya. Beliau juga beruntung dapat bertemua amirul mukminin (Umar bin Khaththab), belajar Al-Qur’an kepadanya dan shalat di belakangnya.

Di samping berkutat dengan Kitabullah, Rufai’ yang julukannya adalah Abu Al-Aliyah ini juga akrab dengan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga beliau berusaha mendengarkan  riwayat hadits dari para tabi’in yang beliau temui di Bashrah. Akan tetapi muncul keinginan kuat dalam jiwanya untuk lebih dari itu. Maka seringkali beliau meluangkan waktu untuk pergi ke Madinah untuk mendengarkan hadits langsung dari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga tiada pembatas antara dirinya dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melainkan satu orang atau dua orang saja.

Beliau meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Mas’ud, Ubaik bin Ka’ab, Abu Ayyub Al-Anshari, Abu Hurairah, Abdullah bin Abbas dan para sahabat yang lain.

Abu Al-Aliyah tidak hanya mencukupkan diri mengambil hadits di Madinah Al-Munawarah saja.  Namun beliau tidak segan-segan memburu hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di manapun ia berada. Jika dikatakan kepada beliau ada seseorang yang berilmu, maka beliau tarik kekang kendaraannya kendati jauh jaraknya, walaupun membutuhkan waktu yang lama. Jika beliau telah sampai, beliau shalat di belakang orang yang dituju. Jika beliau mendapatkan shalatnya tidak sungguh-sungguh dan tidak konsisten dengan Sunnah, tidak memperhatikan hak-hak shalat, maka beliau berpaling sambil bergumam, “Sesungguhnya orang yang meremehkan shalat tentulah untuk urusan yang selainnya lebih meremehkan. Lalu beliau mengambil perbekalannya dan kembali pulang.”

Abu Al-Aliyah mencapai prestasi dalam hal ilmu melejit jauh dari seluruh teman-teman-teman sebenarnya. Salah seorang sahabatnya berkata, “Aku melihat Abu Al-Aliyah berwudhu, air menetes dari wajah dan kedua tangannya, dia melakukan thaharah pada anggota badan sebagaimana mestinya. Aku mengucapkan salam dan berkata, “Sesungguhnya Allah mencintai orang yang bertaubat dan suka thaharah.” Lalu dia berkata, “Wahai saudaraku, yang dimaksudkan ayat tersebut bukanlah orang yang melakukan thaharah dengan air yang kotor, akan tetapi mereka thaharah dengan rasa takutnya terhadap dosa.” Maka aku renungkan apa yang dia katakan, lalu aku dapatkan dialah  yang benar sedangkan aku yang salah. Kemudian aku berkata, “Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan dan menambahkan ilmu dan pemahaman kepada Anda.”

Abu Al-Aliyah biasa menganjurkan manusia untuk antusias dalam mencari ilmu, dan menunjukkan mereka jalan untuk bisa meraihnya. Beliau berkata, “Sibukkanlah diri kalian untuk menimba ilmu dan perbanyaklah bertanya tentangnya. Ketahuilah bahwa ilmu tidak akan hinggap bagi orang yang malu (dalam hal ilmu) dan orang yang sombong. Orang  yang malu dia tidak akan bertanya karena malu, orang yang sombong tidak akan bertanya karena kecongkakannya.”

Beliau juga menganjurkan murid-muridnya untuk mempelajari Al-Qur’an dan berpegang teguh terhadap apa yang terkandung di dalamnya serta berpaling dari segala perkara bid’ah yang diada-adakan. Beliau berkata, “Pelajarilah Al-Qur’an, jika kalian mempelajarinya maka janganlah kalian menyimpang darinya, tempuhlah jalan yang lurus, itulah Islam. Jauhilah oleh kalian hawa nafsu dan bid’ah, karena ia akan membangkitkan permusuhan dan kebencian di antara kalian. Janganlah kalian menyelisihi perkara yang telah diambil oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum mereka berpecah.”

Perkataan tersebut disampaikan kepada Hasan Al-Bashri lalu beliau berkomentar, “Demi Allah Abu Al-Aliyah telah menasihati kalian dengan benar.”

Di samping itu beliau juga membimbing para santrinya cara untuk menghafalkan Al-Qur’an, beliau berkata, “Pelajarilah ayat Al-Qur’an lima ayat-lima ayat, karena hal itu lebih mudah untuk kalian ingat dan lebih mungkin untuk kalian pahami. Karena Jibril menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lima ayat-lima ayat.”

Abu Al-Aliyah bukan hanya sekedar pengajar saja namun juga mendidik. Karena beliau mengisi otak murid-muridnya dengan ilmu yang bermanfaat, memelihara hati mereka dengan nasihat yang baik, sering mengumpulkan antara dua perkara pada nasihat-nasihatnya. Di antara nasihat beliau kepada mereka:

“Sesungguhnya Allah telah menetapkan untuk diri-Nya, bahwa barangsiapa yang beriman kepada-Nya niscaya Allah akan memberi hidayah kepadanya. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

‘Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya dia akan memberi petunjuk kepada hatinya,’ (At-Taghabun: 11).

Dan Allah menetapkan bahwa barangsiapa bertawakal kepada-Nya niscaya Allah akan mencukupinya. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya),’ (Ath-Thalaq: 3).

Dan Allah menetapkan barangsiapa yang memberi pinjaman kepada Allah niscaya Allah akan menggantinya. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, “Siapkah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda  yang banyak,” (Al-Baqarah: 245).

Dan barangsiapa yang berdo’a kepada-Nya Allah akan mengabulkannya. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawabnya bahwasanya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan  orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku,” (Al-Baqarah: 186).

Beliau juga pernah menasihati murid-muridnya:

“Beramallah dengan ketaatan, dan terimalah orang-orang yang taat karena ketaatan mereka kepada Allah. Jauhilah maksiat dan musuhilah pelaku maksiat karena kemaksiatan yang dilakukannya. Kemudian serahkanlah urusan orang yang bermaksiat itu kepada Allah, jika Allah menghendaki maka dia diadzab dan jika Dia menghendaki maka akan diampuni. Jika kalian mendengar ada seseorang yang luhur jiwanya maka katakanlah, “Sesungguhnya aku mencintai karena Allah dan membenci karena Allah, aku mengutamakan begini karena mencari ridha Allah dan berpaling dari begini karena takut kepada Allah”, maka janganlah kalian melampaui batas.”

Abu Al-Aliyah bukan sekedar ulama amilun saja, bukan pula sebatas pemberi nasihat dan pembimbing, namun juga seorang mujahid fie sabilillah. Beliau meluangkan waktunya untuk terjun di medan-medan jihad bersama para mujahidin, atau ribath berjaga-jaga akan datangnya musuh di perbatasan bersama para murabithin. Beliau lebih suka berjihad ke negeri Timur dan Barat sebagaimana beliau turut berjihad melawan Romawi di Syam dan juga Persi, negeri di seberang sungai Jihun. Beliau adalah orang yang pertama kali adzan di negeri-negeri tersebut.

Ketika terjadi peperangan antara Ali dan Mu’wiyah, beliau memiliki sikap, beliau bercerita:

“Ketika terjadi peperangan antara Ali dan Mu’awiyah, saya termasuk orang  yang bersemangat. Perang ketika itu lebih aku sukai daripada air dingin di musim kering. Maka saya mempersiapkan perlengkapan kemudian mendatangi mereka. Ternyata di hadapan saya telah berdiri dua barisan pasukan berhadapan yang tak kelihatan ujungnya. Jika satu barisan meneriakkan takbir maka barisan lainpun meneriakkan takbir. Jika yang satu meneriakkan la ilaha illallah, kelompok yang lain pun meneriakkan la ilaha illallah. Lalu saya bertanya-tanya kepadaku diriku sendiri, “Manakah di antara dua kelompok pasukan yang saya anggap kafir dan akan saya perangi? Manakah yang saya anggap mukmin sehingga saya akan berjihad bersamanya? Lalu aku tinggalkan keduanya dan pergi.”

Abu Al-Aliyah sepanjang hidupnya masih merasakan kecewa, karena tidak bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  Maka beliau menggantinya dengan mendekati para sahabat yang utama, yang dekat hubungannya dengan Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Beliau lebih mengutamakan mereka atas dirinya sedangkan mereka lebih mengutamakan beliau atas diri mereka.

Sebagai bukti adalah tatkala Anas –pembantu Rasulullah- memberikan hadiah apel yang di tangannya kepada beliau. Maka belia pun mengambilnya lalu menciumnya sambil berkata, “Apel  yang telah disentuh oleh tangan yang pernah menyentuh tangan Rasulullah, apel yang telah disentuh oleh tangan  yang mendapat kehormatan karena pernah menyentuh tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”

Contoh yang lain, tatkala Abu Al-Aliyah menemui Abdullah bin Abbas yang saat itu menjadi gubernur Bashrah di bawah pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Abdullah bin Abbas menyambutnya dengan sangat baik, beliau dudukkan di atas ranjangnya dan didudukkan di samping kanannya. Ketika itu majelis dihadiri oleh para pembesar Quraisy. Mereka saling melirik dan berbisik di antara mereka, “Tidakkah kalian melihat bagaimana Ibnu Abbas mendudukkan budak itu di atas ranjangnya?” Ibnu Abbas yang melihat gelagat mereka menoleh ke arah mereka dan berkata, “Sesungguhnya ilmu menambah kemuliaan orang yang mulia, dan meninggikan derajat pemiliknya di tengah manusia dan mendudukkan para raja laksana tawanan.”

Suatu tahun, Abu Al-Aliyah bertekad untuk pergi berjihad fii sabilillah. Maka beliau mempersiapkan perbekalannya dan mengikatnya di atas kendaraannya bersama para mujahidin. Tatkala terbit waktu Shubuh, terdapat luka yang parah pada salah satu telapak kakinya. Kemudian rasa sakit itu semakin bertambah sesaat demi sesaat. Ketika seorang tabib menengoknya, dia berkata, “Ini terkena “aklah.” Beliau bertanya, “Apakah itu aklah?” tabib berkata, “Yakni penyakit yang akan mematikan sel-sel dan merambat sedikit demi sedikit hingga mengenai seluruh tubuh.” Kemudian tabib tersebut meminta persetujuannya untuk memotong kakinya hingga setengah betis, maka beliaupun menyetujuinya.

Maka sang tabib menyiapkan perlengkapan amputasi, pisau untuk menyayat daging dan gergaji untuk memotong tulang. Kemudian tabib berkata, “Maukah Anda minum bius agar Anda tidak merasakan kesakitan tatkala disayat dan dipotong kakinya?” beliau menjawab, “Namun ada yang lebih baik untukku daripada itu.” Tabib berkata, “Apa itu?” beliau berkata, “Carilah untukku seorang qari’ yang membacakan Kitabullah, mintalah dia membacakan untukku ayat-ayat yang mudah dan jelas. Jika kalian melihat wajahku telah memerah, pandanganku mengarah ke langit, maka berbuatlah sesukamu.” Maka merekapun melaksanakan permintaan tersebut dan memotong kakinya.

Tatkala selesai amputasi, tabib berkata kepada Abu Al-Aliyah, “Sesungguhnya Anda tidak merasakan sakit tatkala diamputasi.” Lalu beliau menjawab, “Karena saya tersibukkan oleh sejuknya kecintaan kepada Allah, merasakan kelezatan apa yang aku dengar dari Kitabullah sehingga melupakan panasnya gergaji.” Kemudian beliau pegang kaki beliau dengan tangannya dan beliau melihat kepadanya seraya berkata, “Jika aku bertemu dengan Rabb-ku pada hari kiamat nanti dan bertanya apakah aku  telah berjalan dengan engkau (kaki  yang telah dipotong) ke tempat yang haram sejak 40 tahun, atau aku telah berjalan denganmu pada tempat  yang tidak diperbolehkan? Nisacaya aku akan menjawab, “Belum pernah” dan aku jujur terhadap kata-kataku, Insya Allah.

Setelah itu, karena ketakwaan Abu Al-Aliyah dan karena merasa dekatnya dengan hari kiamat serta persiapannya bertemu dengan Rabb-nya, beliau telah menyiapkan kain kafan untuk dirinya. Beliau memakai kain kafan itu sebulan sekali kemudian beliau kembalikan ke tempatnya. Beliau telah berwasiat 17 belas kali padahal beliau masih dalam keadaan sehat dan segar. Beliau memberikan batasan pada setiap-setiap wasiat. Jika batasan waktu telah habis beliau melihatnya lagi, mungkin beliau menggantinya atau mengundurkannya.

Pada bulan Syawal tahun 93 H Abu Al-Aliyah berangkat menjumpai Rabb-nya dengan membawa jiwanya yang suci, yakin dengan rahmat Allah dan kerinduan untuk bertemu dengan Nabinya.

Sumber: Buku “Mereka Adalah Para Tabi’in”, Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Pustaka At-Tibyan

Artikel: www.KisahIslam.net

Facebook Fans Page: Kisah Teladan & Sejarah Islam

Comments
All comments.
Comments