PADA MASA AL WALID BIN ABDUL MALIK
Gubernur Madinah pada masa khilafah Al-Walid, adalah: Umar bin Abdul Aziz rahimahullah. Sang khalifah memerintahkan Umar untuk membangun kembali serta memperluas masjid Nabawi. Maka Umar memulai pembangunan pada tahun 88 H, dan pembangunan selesai pada tahun 91 H.
Masjid ditambah dari arah barat 20 hasta, dan dari arah timur 30 hasta, dan bilik-bilik para isteri Nabi (ummahat al-mukminin) dimasukkan dalam kawasan masjid. Dari arah utara juga ditambah, bahan bakunya berasal dari batu yang diukir, dan tiangnya berasal dari batu yang dipahat dan sudut tiang tersebut dikelim dengan besi dan timah, dan diberi dua atap bawah dan atas. Atap bawahnya terbuat dari kayu jati, dan menara masjid yang pertama dibuat yaitu pada saat perluasan Al-Walid ini.
Ibnu Zabalah dan Yahya meriwayatkan dari jalan Muhammad bin ‘Ammar dari kakeknya, ia berkata: “Umar bin Abdul Aziz ketika membangun kembali masjid Rasulullah ia membuat menara di setiap sudut masjid, maka berdirilah empat menara di masjid Nabawi.”[Wafa’ al-Wafa’ jilid 2 hal.513-526]
Disaat perluasan ini juga dibuat mihrab masjid, dinding bagian dalam masjid dihias dengan batu pualam, emas dan mozaik (potongan marmer kecil yang berwarna-warni), atap, ujung tiang dan ambang pintu juga dilapisi emas, jumlah pintunya ditambah menjadi 20 pintu.
PADA MASA AL-MAHDI AL-ABBASI (161-165 H)
Al-Mahdi bin Abu Ja’far menunaikan ibadah haji pada tahun 161 H, lalu ia datang ke Madinah dan melantik Ja’far bin Sulaiman sebagai gubernur pada tahun 161 H. Dan ia memerintahkan padanya untuk memperluas masjid Rasulullah dan mempercayakan pembangunannya kepada Ja’far dan Abdullah bin ‘ Ashim bin Umar bin Abdul Aziz dan Abdul Malik bin Syabib Al-Ghassani.
Bagian masjid yang diperluas yaitu: arah utara, Al-Mahdi menawar beberapa rumah lalu membelinya, diantara rumah yang terkena perluasan masjid, yaitu: rumah Abdurrahman bin ‘Auf yang terkenal dengan Daar Mulaikah, rumah Syurahbil bin Hasanah dan rumah Abdullah bin Mas’ud yang terkenal dengan Daar Al-Qurra’.[Ad-Durrah Tsaminah: Ibnu Najjar, hal. 178-179]
PADA MASA QAYITBAY (886-888 H)
Pengelolaan Madinah Al-Munawwarah berpindah kepada raja-raja Mesir setelah berakhirnya khilafah Abbasiyah pada tahun 656 H. Para raja-raja tersebut sangat memperhatikan pengelolaan masjid yang mulia ini. Diantara mereka yang paling besar perhatiannya adalah: Suithan Al-Asyraf Qayitbay.
Ketika masjid Nabawi terbakar pada malam 13 Ramadhan tahun (886 H -1481 M), Suithan Qayitbay melakukan pemugaran menyeluruh terhadap masjid. Pemugaran ini berakhir pada penghujung Ramadhan tahun 888 H. Sisi sebelah timur yang terdapat kamar khusus diperluas 21/4 hasta, atapnya dijadikan satu, dan tingginya menjadi 22 hasta.[Tarikh masjid Nabawi syarif, hal.51-52]
PADA MASA SULTHAN ABDUL MAJID (1265-1267 H)
Para khalifah Utsmaniyah bertanggungjawab terhadap pengelolaan masjid Nabawi yang mulia setelah berakhimya pemerintahan raja raja Mesir tahun (923 H /1517 M). Masjid Nabawi masih tetap dalam pemugaran terakhir oleh Qayitbay. Berarti selama 377 tahun tidak mengalami perbaikan, hingga kelihatan retak-retak pada sebagian sisi masjid Nabawi.
Maka Daud Basya (pemimpin masjid Nabawi pada masa itu) menulis surat kepada Suithan Abdul Majid I. Ia menjelaskan bahwa masjid sangat perlu untuk dibangun kembali. Segera Suithan Abdul Majid I mengirim orang kepercayaannya dan ia mengirim bersamanya seorang insinyur yang handal, ini terjadi pada tahun 1265 H.
Mereka berdua meminta bantuan penduduk Madinah dalam mewujudkan pemugaran dan perbaikan masjid Nabawi. Kemudian mereka berdua kembali ke istana memberitahu Suithan Abdul Majid I tentang pentingnya masjid Nabawi untuk dipugar dan diperbaharui. Ketika itu Suithan Abdul Majid I memperbaruinya, dan mengirim Halim Affandi sebagai pimpinan proyek pemugaran dan ia mengirim segala sesuatu yang dibutuhkan seperti alat-alat bangunan, dana, para ahli, tukang batu dan para pekerja.
Setelah semuanya sampai di Madinah, para teknisi menggali salah satu bukit hingga mereka menemukan sebuah anak bukit yang besar dan mengandung bahan baku yang banyak. Warna bukit tersebut merah mirip batu akik. Mereka lalu menambang batu-batu untuk dicetak dan membawanya ke areal masjid. Lalu mereka memugar dan memperbaiki satu sisi, kemudian berpindah ke sisi yang lain, sehingga tidak membuat para jema’ah berhenti melaksanakan shalat di sana.
Seluruh bagian masjid mengalami pemugaran kecuali kamar khusus, mimbar yang mulia, dinding arah barat, mihrab Nabi, mihrab Utsmani, mihrab Sulaimani, dan menara utama.
Mereka membiarkan seperti bangunan awalnya, karena masih kokoh dan buatannya sangat rapi. Para pekerja dalam pemugaran ini memberikan inovasi yang tanpa tanding. Seluruh lantai masjid mereka buat dari batu pualam dan setengah bagian bawah dari dinding arah kiblat setelah pembangunan selesai, dan mereka mengilapkan tiang-tiang, mencatnya dengan cat yang mirip warna batu. Seluruh kubah-kubahnya diukir dengan berbagai motif. Tiang-tiang di areal Raudhah dilapisi batu pualam yang berwama putih dan merah untuk membedakannya dari yang lain. Pemugaran ini memakan waktu 3 tahun.
Pada pemugaran ini dibuat pintu Al Majidi yang terletak di dalam masjid. Kemudian pada saat pemugaran masa raja-raja Saudi, pintu ini dibuat berada di depan masjid dan sampai sekarang masih bernama Al Majidi.
Dulunya tanah bagian belakang masjid lebih tinggi dari bagian depan, lalu pada pemugaran Al Majidiyah ini diratakan. Juga digali untuk menara sedalam orang berdiri, lalu dibangun pondasinya dengan batu cadas dan batu hitam. Pemugaran ini berakhir pada tahun 1277 H.
Pemugaran ini masih tetap kelihatan istimewa dengan bentuk aslinya dan dengan omamennya yang khusus. Ketika perluasan raja-raja Saudi, bagian Selatan yang diberi atap pada masa pemugaran Al Majidiyah tetap dipertahankan karena masih kelihatan buatannya halus dan indah, dan luas pemugaran ini 4.056 m2.
Bersambung Insyaallah..
Sumber: Sejarah Madinah Al Munawwarah, Disusun oleh Beberapa Ulama yang diketua oleh Syeikh Shafiyur Rahman Al Mubarak Furi , Penerbit : Darussalam, Riyadh, Alih bahasa : Erwandi Tarmizi, Lc.