Menjadi Santri di Usia Tua

Sebagai seorang hamba yang amat fakir dan  sangat membutuhkan pertolongan-Nya kami takut tertimpa riya’, ujub atau  bangga diri. Akan tetapi, sebagai hamba yang senantiasa diberi curahan  nikmat oleh Alloh , limpahan rezeki-Nya, petunjuk dan hidayah-Nya,  pertolongan dan belas kasih-Nya; maka kami akan ceritakan salah satu  nikmat tersebut.

Impian yang indah adalah sebuah  kenikmatan, lebih-lebih jika impian itu menjadi kenyataan. Sekitar empat  tahun silam kami bercita-cita untuk tholabul ilmi (menuntut ilmu agama)  dengan lebih intensif, yaitu dengan ‘mondok’ di sebuah pesantren.  Sebenarnya jauh sebelumnya keinginan itu sudah ada, sebab kami menyadari  betapa bodohnya diri ini terhadap dienulloh (agama Alloh) yang agung  ini.

Kami (ana dan juga istri) dilahirkan  bukan dari lingkungan yang agamis apalagi salafi. Masa muda kami habis  untuk mempelajari pelajaran yang sekarang kurang kami rasakan  manfaatnya, mulai dari SD hingga Perguruan Tinggi. Namun alhamdulillah,  segala puji bagi Alloh, Robb semesta alam, Alloh berkehendak untuk  memberi hidayah kepada kami. Kami mengenal salafi ketika kami sudah  memiliki dua anak. Kami ikuti kajian salaf dari masjid ke masjid dan  membaca buku-buku bernuansa Islami. Betapa kami telah menemukan  keagungan dan keindahan Islam yang sempurna ini, dan kami merasa semakin  bodoh dan fakir dalam ilmu dien ini. Terbayang dalam pikiran seandainya  masa muda bisa kembali, kan ku pelajari semua ilmu dien ini.

Tapi, tiada yang perlu disesali. Ilmu  bukanlah hak kaum muda saja, kami terus berusaha tholabul ilmi  semampunya sambil mengurus keluarga. Impian untuk bisa intensif belajar  agama seperti ketika mempelajari pelajaran umum di bangku sekolah dulu  tidak bisa terhapus dalam benak ini. Tapi apa hendak di kata, anak sudah  empat, dengan bekerja pagi-sore saja penghasilan pas-pasan untuk biaya  pendidikan anak-anak. Bagaimana lagi jika mondok???

Do’a. Ya, do’a. Itulah senjata paling  handal seorang muslim. Kami meminta kepada Dzat yang Mahakaya dan Maha  Berkehendak. Setelah itu alhamdulillah, Alloh ilhamkan kepada kami  sebuah ide bagus untuk merealisasikan impian kami itu. Apa gerangan?

Syirkah (persekutuan/kerjasama antara  pemodal dengan pengelola). Kami mengajak dua orang semanhaj yang  bercita-cita sama untuk membangun sebuah bisnis atau syirkah, yang  nantinya bila sudah dapat dipetik hasilnya akan kami gunakan untuk  membiayai secara bergantian salah satu keluarga di antara kami untuk  mondok sekeluarga dengan biaya sepenuhnya oleh perusahaan tersebut.

Kenapa kami memilih cara ini? Dengan  syirkah kita akan lebih selamat dan hati-hati, tidak sembarangan dalam  memakai uang karena bukan milik pribadi. Selain itu, memungkinkan bagi  kita untuk saling bergantian dalam mengelola usaha maupun dalam tholabul  ilmi nantinya. Di sisi lain, kita akan dapat lebih sabar dan ulet dalam  menjalankan usaha terutama saat-saat krisis di awal-awal usaha. Kita  tanggung bersama suka dan duka.

Tekad semakin bulat. Dengan modal yang  amat kecil kami bertiga merakit bisnis. Mengingat kami masih awam dalam  dunia usaha, maka kami beli buku-buku dan majalah-majalah bisnis untuk  bekal awal. Selain itu, kami juga sering mendatangi pengusaha-pengusaha  yang sukses untuk berkonsultasi.

Awalnya bisnis kami mengalami  kebangkrutan, kemudian dengan pertolongan-Nya, Alloh ilhamkan kepada  kami sebuah bisnis kecil tetapi berpotensi besar untuk berkembang dan  keuntungannya cukup besar.

Bulan berganti bulan, alhamdulillah  bisnis kami berkembang pelan tapi pasti. Menginjak tahun ketiga,  setelah dihitung-hitung, ternyata laba bulanan perusahaan sudah cukup  untuk membiayai satu keluarga untuk tholabul ilmi walaupun dengan  standar hidup sederhana. Kami bicarakan rencana kami untuk mondok dengan  anak-anak, awalnya mereka ragu karena khawatir pendidikannya tidak bisa  berlanjut karena Abahnya (Bapaknya) mondok, tidak bekerja. Kami  yakinkan bahwa Alloh Mahakaya, mampu memberi rezeki dari jalan yang  tidak disangka-sangka. Alhamdulillah, mereka bisa menerima dan mau  bersiap-siap untuk hidup lebih sederhana, bahkan sempat menghadiahkan  untuk kami buku kecil yang berjudul ‘Perjalanan Ulama dalam Menuntut  Ilmu’ karya Abu Anas Majid al-Bankani, buku yang sangat berkesan bagi  kami waktu itu dan semakin membuat bulat tekad kami untuk segera memulai  rihlah (menempuh jalan) untuk tholabul ilmi.

Akhirnya kami pun berangkat sekeluarga,  meninggalkan kampung halaman. Rumah idaman yang telah kami bangun untuk  sementara kami tinggalkan, menuju pondok pesantren al-Furqon, Gresik.  Kami mulai dengan mengikuti dauroh (Kajian Khusus) Bahasa Arab, padahal anak kami yang kedua telah mengikuti dauroh yang sama padasatu tahun sebelumnya  dengan kelas/tingkatan yang sama pula.

Awalnya terasa agak aneh juga. Kami duduk  sebangku dengan anak-anak yang usianya di bawah 20 tahunan, seusia  dengan anak kami. Tapi masya Alloh, rasa nikmat mendapat ilmu dien tidak  bisa kami lukiskan, bahkan membuat kami merasa benar-benar ‘seperti  muda’. Kesulitan fisik yang ada, yaitu adaptasi dengan tempat tinggal  yang baru, rumah yang lebih kecil, perabot yang lebih sederhana, pola  hidup yang lebih sederhana dan kondisi air yang kurang bersahabat dengan  kulit anak dan istri, seperti tidak terasa karena saking besarnya  kenikmatan yang Alloh berikan itu.

Subhanalloh, sungguh kenikmatan menuntut  ilmu agama di usia tua ini sulit kami gambarkan. Ibarat orang yang sudah  lama menunggu datangnya kekasih, lalu tibalah saat perjumpaan.  Hari-hari indah penuh makna kami jalani. Taman-taman bunga dari majelis  ilmu kami singgahi.

Tambahnya ilmu pengetahuan dienulloh yang  murni ini, kenikmatannya tiada tara, belum pernah kami merasakan  kenikmatan seperti ini sebelumnya, tidak seperti makanan yang jika kita  makan setiap hari akan bosan, tidak pula seperti baju baru yang jika  kita pakai setiap hari akan lusuh. Sungguh, kami katakan, “Seseorang  tidak akan dapat merasakan cita-rasa lezatnya agama yang suci ini dengan  tanpa mengambilnya dari sumber-sumber aslinya yang berbahasa Arab”.

Kini, alhamdulillah anak dan istri juga  ‘nyantri’ semua, tholabul ilmi syar’i. Dan kami ingin tetap dalam jalan  tholabul ilmi hingga maut menjemput, insya Alloh. Dan insya Alloh tahun  ajaran baru mendatang salah satu rekan syirkah kami sekeluarga akan  menyusul kami, karena alhamdulillah usaha kami kini sudah cukup untuk  membiayai dua keluarga. Dan semoga rekan kami yang ketiga juga bisa  segera menyusul.

Segala puji bagi-Mu, ya… Alloh, atas  segala nikmat-Mu yang tak kan mampu kami hitung. Semoga Alloh juga akan  memberikan kesempatan kepada Anda, para pembaca al-Mawaddah, untuk dapat  menuntut ilmu syar’i dengan washilah (perantara) bisnis syirkah Anda  bersama rekan seiman. Amin.

[B]Dari Pembaca:[/B] [LINK=http://almawaddah.or.id/]Majalah Mawaddah[/LINK]-Abu & Ummu Hisyam al-Kadiri

Comments
All comments.
Comments