Kisah Hajar & Ismail ‘Alayhis Salam

Pengantar

Ini adalah kisah yang panjang dan alurnya mengalir jelas. Peristiwanya gamblang, yang menceritakan tentang bapak kita Ismail bin Khalilullah Ibrahim alaihi salam dan tentang ibu kita Hajar Ummu Ismail. Semua orang Arab adalah keturunan Ismail. Ada yang menyatakan bahwa sebagian orang Arab berasal dari asal usul Arab kuno yang bukan keturunan Ismail. Ibu kita Hajar adalah wanita Mesir yang dihadiahkan oleh penguasa zhalim Mesir kepada Sarah dalam sebuah kisah yang akan disebutkan selanjutnya.

Manakala Ibrahim belum kunjung dikaruniai anak dari istrinya Sarah, maka Sarah memberikan hamba sahayanya kepada Ibrahim untuk dinikahi dengan harapan bahwa darinya Allah akan memberi anak. Hajar pun hamil dan melahirkan Ismail di bumi yang penuh berkah, Palestina.

Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam menceritakan kisah Hajar kepada kita, apa yang terjadi antara dia dengan Sarah dan bagaimana Allah memerintahkan Ibrahim agar pindah bersama Hajar dan Ismail ke belahan bumi termulia (Makkah). Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam menjelaskan kondisi tempat di mana Hajar dan putranya, Ismail, berdiam. Beliau menjelaskan kepada kita tentang Ibrahim yang meninggalkan keduanya di tempat yang sepi, tanpa makanan, minuman, dan penduduk. Beliau juga menjelaskan apa yang terjadi dengan Hajar dan Ismail sepeninggal Ibrahim sampai akhirnya Ibrahim dan Ismail membangun Baitullah Al-Haram sebagai rumah pertama yang diletakkan untuk manusia.

Bukhori meriwayatkan dalam Shahihnya dari Said bin Jubair yang berkata bahwa Ibnu Abbas berkata, “Wanita pertama yang membuat ikat pinggang adalah ibu Ismail. Hal itu ia lakukan agar dapat menutupi jejak kakinya dari Sarah. Kemudian Ibrahim membawa isteri dan putranya, Ismail, yang masih disusuinya. Hingga akhirnya Ibrahim menempatkan keduanya di dekat Baitullah di sisi sebuah pohon besar di atas sumur Zamzam di bagian atas Masjidil Haram. Pada saat itu Makkah tidak berpenghuni seorang pun, dan tidak ada air. Beliau meninggalkannya keduanya, juga meletakkan sebuah kantong berisi kurma dan kantong kulit berisi air. Ketika Ibrahim melangkah pergi, Hajar menyusulnya seraya bertanya, ‘Wahai Ibrahim, kemana engkau akan pergi? Apakah engkau akan meninggalkan kami dilembah yang tidak ada seorang manusia pun dan tidak ada sesuatu pun?’ Hajar terus menerus menanyakan hal itu, dan Ibrahim tidak menoleh kepadanya. Maka Hajar bertanya kembali, ‘Apakah Allah yang menyuruhnya melakukan ini?’ Ibrahim menjawab,’Ya.’ Hajar pun berucap, ‘Kalau memang demikian, Dia tidak akan mengabaikan kami.’ Selanjutnya Hajar kembali.

Ibrahim terus berjalan hingga ketika sampai di sebuah bukit di mana mereka tidak melihatnya, beliau menghadapkan wajahnya ke Baitullah, lalu berdoa dengan beberapa kalimat seraya mengangkat kedua tangannya dan mengucapkan, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah_mu (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berikanlah rizki kepada mereka dari buah-buahan. Mudah-mudahan mereka bersyukur.” (Ibrahim: 37).

Hajar menyusui Ismail dan meminum dari air yang berada di dalam kantong kulit. Air sudah habis, ia merasa kehausan, demikian pula putranya yang merengek-rengek kehausan. Ia pun pergi karena tidak tega melihatnya. Hingga ia menemukan Shafa, gunung yang paling dekat dengannya. Maka ia berdiri di atasnya, menghadap ke lembah sambil melihat-lihat adakah seseorang, tetapi dia tidak melihat seorang pun. Setelah turun dari Shafa, ia sampai di lembah, ia mengangkat ujung bajunya dan berusaha keras seperti orang yang berjuang mati-matian, hingga berhasil melewati lembah. Lalu ia mendatangi Marwah, berdiri di atasnya sembari melihat apakah ada seseorang yang dapat dilihatnya, tetapi dia tetap tidak melihat seorang pun. Dia melakukan hal itu sebanyak tujuh kali.”

Ibnu Abbas mengatakan bahwa Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam berkata, “Karena hal inilah orang-orang melakukan sa’i di antara keduanya (Shafa dan Marwah).”

Ketika mendekati Marwah, ia mendegar sebuah suara. Ia pun berkata kepada dirinya, “Diam. Kemudian ia berusaha mendengar lagi hingga ia pun mendengarnya. Lalu ia berkata, ‘Engkau telah memperdengarkan. Adakah Engkau dapat menolong?’ Tiba-tiba ia mendapatkan Malaikat di tempat sumber air Zam-zam. Kemudian Malaikat itu menggali tanah dengan tumitnya -dalam riwayat lain, dengan sayapnya- hingga muncullah air. Ia membendung air dengan tangannya. Ia menciduk dan memasukkan air itu kekantongnya. Air itu terus mengalir deras setelah ia menciduknya.”

Ibnu Abbas mengatakan bahwa Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, “Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada ibu Ismail, jika saja ia membiarkan Zamzam.” Atau beliau bersabda, “Seandainya ia tidak menciduk airnya, niscaya Zamzam menjadi mata air yang mengalir.”

Lebih lanjut, Ibnu Abbas mengatakan bahwa kemudian ia meminum air itu dan menyusui anaknya. Lalu malaikat berkata kepadanya, “Janganlah engkau khawatir akan disia-siakan, karena di sini terdapat sebuah rumah Allah yang akan dibangun oleh anak ini dan bapaknya. Dan sesungguhnya Allah tidak akan menelantarkan penduduknya.” Posisi rumah Allah itu terletak lebih tinggi dari permukaan bumi, seperti sebuah anak bukit yang diterpa banjir sehingga mengikis bagian kiri dan kanannya.

Kondisi ibu Ismail terus seperti itu sampai sekelompok Bani Jumhur atau sebuah keluarga dari kalangan Bani Jurhum melewati mereka. Mereka datang melalui jalan Keda’. Kemudian mereka mendiami daerah Makkah yang paling bawah. Mereka melihat seekor burung berputar di angkasa, mereka berkata, “Burung itu pasti sedang mengitari air. Kita mengenal bahwa di lembah ini tidak ada air.” Mereka pun mengutus satu atau dua orang. Ternyata utusan itu menemukan air. Lalu mereka kembali dan memberitahukan perihal air tersebut. Maka mereka pun datang. Ibnu Abbas selanjutnya menceritakan, “Ibu Ismail ketika itu masih berada di sumber air tersebut. Maka mereka pun bertanya kepadanya, ‘Apakah engkau mengizinkan kami untuk singgah di sini?’ ‘Ya, tetapi kalian tidak berhak atas air ini,’ jawab ibu Ismail. Mereka pun menyahut, ‘Baiklah.'” Kemudian, lanjut Ibnu Abbas, Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, “Maka ibu Ismail menerima hal itu, karena ia memerlukan teman.” Mereka pun singgah di sana dan mengirimkan utusan kepada keluarga mereka agar ikut datang dan menetap di sana bersama mereka. Hingga berdirilah beberapa rumah. Akhirnya sang bayi (Ismail) pun tumbuh besar dan belajar bahasa Arab dari mereka, serta menjadi orang yang paling dihargai dan dikagumi ketika menginjak usia remaja. Setelah dewasa mereka menikahkannya dengan seorang wanita dari kalangan mereka.

Setelah itu ibu Ismail meninggal dunia. Setelah Ismail menikah, Ibrahim datang untuk mencari yang dulu ditinggalkannya, tetapi ia tidak menemukan Ismail di sana. Lalu Ibrahim menanyakan keberadaan Ismail kepada isterinya (menantu Ibrahim). Isteri Ismail menjawab, “Ia sedang pergi mencari nafkah untuk kami.” Kemudian Ibrahim menanyakan perihal kehidupan dan keadaan mereka, maka isterinya menjawab, “Kami berada dalam kondisi yang buruk. Kami hidup dalam kesusahan dan kesulitan.” Ia mengeluh kepada Ibrahim. Ibrahim pun berpesan, “Jika suamimu datang, sampaikan salamku kepadanya dan katakan kepadanya agar mengubah palang pintunya.” Ketika Ismail datang, seolah-olah ia merasakan sesuatu, kemudian ia bertanya, “Apakah ada orang yang datang mengunjungimu?” “Ya, kami didatangi seorang yang sudah tua, begini dan begitu, lalu ia menanyakan kepada kami mengenai dirimu, dan aku memberitahukannya. Selain itu, ia pun menanyakan ihwal kehidupan kita di sini, maka aku pun menjawab bahwa kita hidup dalam kesulitan dan kesusahan,” jawab isterinya. “Apakah ia berpesan sesuatu kepadamu?” tanya Ismail. Isterinya menjawab, “Ia menitipkan salam kepadaku untuk aku sampaikan kepadamu dan menyuruhmu agar mengubah palang pintu rumahmu.” Ismail pun berujar, “Ia adalah ayahku. Ia menyuruhku untuk menceraikanmu. Karenanya, kembalilah engkau kepada keluargamu.” Maka Ismail menceraikannya, lalu mengawini wanita lain dari Bani Jurhum.

Ibrahim tidak mengunjungi mereka selama beberapa waktu. Setelah itu Ibrahim mendatanginya, namun ia tidak juga mendapatinya. Kemudian ia menemui isterinya dan menanyakan perihal keadaan Ismail. Maka isterinya menjawab, “Ia sedang pergi mencari nafkah untuk kami.”  “Bagaimana keadaan dan kehidupan kalian?” tanya Ibrahim. Isteri Ismail menjawab, “Kami baik-baik saja dan berkecukupan.” Seraya memuji(bersyukur kepada) Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kemudian Ibrahim bertanya, “Apa yang kalian makan?” Isteri Ismail menjawab, “Kami memakan daging.” “Apa yang kalian minum?” lanjut Ibrahim. Isteri Ismail menjawab, “Air.” Kemudian Ibrahim berdoa, “Ya Allah, berkatilah mereka pada daging dan air.”

Selanjutnya Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, “Pada saat itu mereka belum mempunyai makanan berupa biji-bijian. Seandainya mereka memikinya, niscaya Ibrahim akan mendoakannya supaya mereka diberikan berkah pada biji-bijian itu.” Lebih lanjut Ibnu Abbas berkata, “Di luar Makkah, kedua jenis itu (daging dan air) bisa didapatkan dengan mudah, hanya saja keduanya tidak cocok (sebagai makanan pokok).” Ibrahim berpesan, “Jika suamimu datang, sampaikan salamku kepadanya dan suruh ia untuk memperkokoh palang pintunya.” Ketika datang, Ismail bertanya, “Apakah ada orang yang datang mengunjungimu?” Isterinya menjawab, “Ya, ada orang tua yang berpenampilan sangat bagus -seraya memuji Ibrahim- dan ia menanyakan kepadaku perihal dirimu, lalu kuberitahukan. Setelah itu ia menanyakan perihal kehidupan kita, maka aku menjawab bahwa kita baik-baik saja.”

“Apakah ia berpesan sesuatu hal kepadamu?” tanya Ismail. Isterinya menjawab, “Ya, ia menyampaikan salam kepadamu dan menyuruhmu agar memperkokoh palang pintumu.” Lalu Ismail berkata, “Ia adalah ayahku. Engkaulah palang pintu yang dimaksud. Ia menyuruhku untuk tetap hidup rukun bersamamu.”

Kemudian Ibrahim meninggalkan mereka selama beberapa waktu. Setelah itu ia datang kembali, ketika itu Ismail tengah meraut anak panah di bawah pohon besar dekat sumur Zamzam. Ketika melihatnya, Ismail bangkit. Keduanya melakukan apa yang biasa dilakukan oleh anak dengan ayahnya dan ayah dengan anaknya jika bertemu. Ibrahim berkata, “Wahai Ismail, sesungguhnya Allah memerintahkan sesuatu kepadaku.” “Laksanakanlah apa yang telah diperintahkan Tuhanmu itu,” sahut Ismail. Ibrahim pun bertanya, “Apakah engkau akan membantuku?” “Aku pasti akan membantumu,” jawab Ismail. Ibrahim bertutur, “Sesungguhnya Allah menyuruhku untuk membangun sebuah rumah disini.” Seraya menunjuk ke anak bukut kecil yang letaknya lebih tinggi dari sekelilingnya.

Ibnu Abbas pun melanjutkan ceritanya bahwa pada saat itulah keduanya meninggikan pondasi Baitullah. Ismail mengangkat batu, sedang Ibrahim memasangnya. Ketika bangunan itu sudah tinggi, dia meletakkan sebongkah batu untuk dijadikan pijakannya. Ibrahim berdiri di atasnya sambil memasang batu, sementara Ismail menyodorkan batu-batu kepadanya. Keduanya pun berdoa, “Ya Rabb kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 127).

Ibnu Abbas meneruskan, bahwa keduanya terus membangun hingga menyelesaikan seluruh bangunan Baitullah. Keduanya berdoa, “Ya Rabb kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 127).

Dalam riwayat lain dalam Shahih dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas berkata, “Ketika terjadi apa yang terjadi antara Ibrahim dan keluarganya, Ibrahim membawa pergi Ismail dan ibunya dan mereka membawa kantong air. Ibu Ismail minum air dari kantong itu dan menyusui anaknya, sampai Ibrahim tiba di Makkah. Lalu Ibrahim meletakkannya di bawah rindang pohon besar. Ibrahim pun meninggalkannya untuk pulang kepada keluarganya. Ibu Ismail menguntitnya. Sesampainya di Keda’, ibu Ismail memanggilnya, “Wahai Ibrahim, kepada siapa kamu meninggalkan kami?’ Ibrahim menjawab, “Kepada Allah.” Ibu Ismail menjawab, “Aku rela dengan Allah.”

Ibnu Abbas meneruskan, “Lalu ibu Ismail kembali, meminum air itu dan menyusui anaknya. Manakala air telah habis, dia berkata, ‘Sebaiknya aku pergi memeriksa sekeliling, mungkin ada orang lain di sekitar sini.’ Lalu ibu Ismail pergi. Dia naik ke bukit Shafa. Dia melihat-lihat apakah ada seseorang. Tetapi tak seorang pun yang dilihatnya. (Lalu dia turun) ketika sampai di lembah, dia berlari-lari kecil. Dia mendatangi Marwah. Dia melakukan hal itu sebanyak tujuh kali putaran. Kemudian ibu Ismail berkata, ‘Sebaiknya aku kembali menengok anakku, apa yang dilakukannya?’ Ibu Ismail pulang menengok putranya, ternyata putranya masih dalam keadaan seperti semula. Dia mengerang-erang hampir mati kehausan, maka ibu ismail tidak tenang karenanya. Ibu Ismail berkata, ‘Sebaiknya aku pergi melihat-lihat mungkin ada seseorang.’ Lalu dia pergi dan naik ke bukit Shafa, dia melihat dan melihat, tetapi tidak seorang pun yang dilihatnya sampai dia menggenapkan menjadi tujuh kali (putaran). Kemudian ibu Ismail berkata, ‘Sebaiknya aku kembali untuk melihat apa yang terjadi dengan anakku.’ Ternyata dia mendengar suara, dia berkata, ‘Bantulah aku jika kamu membawa kebaikan.'” Ternyata dia adalah Jibril. Ibnu Abbas berkata, “Lalu Jibril mengisyaratkan dengan tumitnya begini. Dia menjejak bumi dengan tumitnya. Maka air memancar. Ibu Ismail terkagum kagum, lalu dia menciduki air itu.”

Ibnu Abbas berkata bahwa Abul Qasim berkata, “Seandainya dia membiarkannya, niscaya air itu akan mengalir.” Ibnu Abbas meneruskan, “Lalu ibu Ismail minum air itu dan menyusui anaknya.”

Lanjut Ibnu Abbas, “Lalu sekelompok orang dari Jurhum melewati dasar lembah. Mereka melihat burung. Mereka terheran-heran seraya berkata, ‘Burung itu pasti terbang di atas air.’ Mereka pun mengutus seorang utusan. Utusan itu melihat dan ternyata ada air. Lalu dia kembali dan menyampaikan hal itu kepada mereka. Maka mereka mendatanginya. Mereka bertanya, ‘Wahai ibu Ismail, apakah engkau berkenan jika kami menyertaimu atau tinggal bersamamu?’ Ismail beranjak dewasa dan menikah dengan seorang wanita dari mereka.”

Ibnu Abbas meneruskan, “Ibrahim ingin berkunjung. Dia berkata kepada keluarganya, ‘Aku akan menengok anakku.’ Ibrahim datang, dia memberi salam dan berkata, ‘Di mana Ismail?’ Isterinya menjawab, ‘Pergi berburu.’ Ibrahim berkata, ‘Jika dia pulang katakan kepadanya agar mengubah palang pintunya.’ Ketika Ismail datang, isterinya menyampaikan perihal kejadian yang baru dialaminya. Lalu Ismail berkata, ‘Kamulah orang yang dimaksud. Pulanglah kamu kepada keluargamu.’

Kemudian Ibrahim ingin berkunjung lagi. Dia berkata kepada keluarganya, ‘Aku akan menengok anakku.’ Ibrahim pun datang dan bertanya, ‘Di mana Ismail?’ Isterinya menjawab, ‘Pergi berburu.’ Isterinya melanjutkan, ‘Singgahlah untuk makan dan minum.’ Ibrahim bertanya, ‘Apakah makanan dan minuman kalian?’ Isteri Ismail menjawab, ‘Makanan kami adalah daging dan minuman kami adalah air.’ Ibrahim berkata, ‘Ya Allah, berkahilah mereka pada makanan dan minuman mereka.'” Ibnu Abbas berkata bahwa Abul Qasim Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, “Keberkahan dengan doa Ibrahim alaihi salam.”

Ibnu Abbas melanjutkan, “Kemudian Ibrahim ingin berkunjung lagi. Dia berkata kepada keluarganya, ‘Aku hendak menengok anakku.’ Ibrahim datang pada saat Ismail sedang meraut anak panah di belakang Zamzam. Ibrahim berkata, ‘Wahai Ismail, sesungguhnya Tuhanmu memerintahkan kepadaku agar aku membangun rumah untuk-Nya.’ Ismail menjawab, ‘Taatilah perintah Tuhanmu.’ Ibrahim berkata, ‘Dia telah memerintahkanku agar kamu membantuku.’ Ismail menjawab ‘Kalau begitu akan aku lakukan.’ Atau sebagaimana yang dia katakan.”

Ibnu Abbas berkata, “Lalu keduanya berdiri. Ibrahim membangun sementara Ismail menyodorkan batu kepadanya dan keduanya berkata, ‘Ya Rabb kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui’.” (Al-Baqarah:127).

Takhrij Hadis

Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya di dalam Kitabul Anbiya’, bab ‘Dan Allah mengangkat Ibrahim’(An-Nisa:125), 6/396, no.3364. Hafizh Ibnu Hajar telah menjelaskan jalan-jalan periwayatannya dan imam-imam yang meriwayatkannya dalam Fathul Bari, 6/399.

Ucapan Ibnu Abbas di dalam hadis ini menunjukkan bahwa dia mengangkatnya (menisbatkannya) kepada Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam. Kalaupun Ibnu Abbas tidak mendengar dari Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam secara langsung, itu berarti dia mendengar dari sahabat lain. Maka hadis ini termasuk mursal sahabi (Hadis yang diriwayatkan oleh sahabat yang tidak dia saksikan atau dengar sendiri dari Rasululah Shallallahu Alahi wa Sallam ). Para ulama telah sepakat bahwa mursal sahabi tetap sah bila dijadikan sebagai dalil.

Penjelasan Hadis

Di dalam hadis ini Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam menyampaikan kepada kita tentang kisah bapak kita, Ismail dan ibunya, Hajar, yang tinggal di tanah suci Makkah. Keduanya adalah orang pertama yang tinggal di sana. Tempat keduanya tinggal adalah belahan bumi tersuci di muka bumi ini, yang terdapat Baitul Haram. Di sanalah kaum muslimin berhaji. Di sanalah mereka menghadap dalam shalat. Di sanalah wahyu turun kepada Ismail dan orang setelahnya, yaitu Rasul termulia Muhammad Shallallahu Alahi wa Sallam.

Penyebab keluarnya Hajar dari Palestina ke Makkah adalah persoalan yang terjadi antara Hajar dan Sarah setelah Hajar melahirkan Ismail. Hajar terpaksa menjauh dari Sarah manakala dirinya tidak merasa aman disisinya, sebagaimana hal itu diisyaratkan oleh hadis. Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam menyampaikan kepada kita bahwa dalam kepergiannya Hajar menyeret bajunya di belakangnya untuk menghapus jejek kakinya agar Sarah tidak mengetahui kemana dia pergi. Dan Allah memerintahkan Ibrahim agar memindahkan Hajar dan putranya ke Baitullah, tempat jauh yang tidak bisa dijangkau oleh kendaraan kecuali dengan kelelahan jiwa.

Ini adalah perkara yang mungkin sulit dan berat bagi Ibrahim yang sudah tua, yang diberi anak Ismail dalam usia lanjut. Perkaranya bertambah sulit manakala Ibrahim meletakkan belahan jiwanya dan ibunya di tempat yang sepi tanpa air, tanpa makanan dan tanpa penduduk.

Akan tetapi Allah memiliki hikmah yang mendalam. Walaupun secara lahir perkara itu sulit dan berat, akan tetapi ia banyak memuat rahmat dan kebaikan. Dan kita melihat rahmat dan kebaikan ini pada hari ini secara jelas dan gamblang. Dengan didiami Ismail, daerah itu tumbuh menjadi sebuah kota tempat dibangunnya Baitullah yang banyak direalisasikan ibadah-ibadah, syiar-syiar dan segala kebaikan. Dengannya Ibrahim dan Ismail memperoleh pahala dan balasan yang tidak diketahui kecuali oleh Allah. Itu adalah karunia Allah yang Dia berikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah adalah Pemilik karunia yang besar.

Ibrahim membawa anak kecil, Ismail, dan ibunya dari tanah yang penuh berkah dengan udaranya yang sejuk, kebunnya yang hijau, airnya yang mengalir ke lembah itu, dan kemudian meletakkan keduanya di bawah pohon. Lalu dia meninggalkannya tanpa berpikir untuk membangunkan rumah sebagai tempat berlindung keduanya. Dia juga tidak mencarikan orang-orang yang bersedia tinggal di sisinya untuk melindunginya dari ancaman para begal atau serangan binatang buas.

Allah telah memerintahkan Ibrahim agar meningalkan keduanya di lembah itu, maka dia pun melakukan seperti yang Allah perintahkan kepadanya. Dia menyerahkan keduanya kepada Allah, karena Dialah yang memerintahkannya untuk melakukan hal itu. Tentunya, Dia mampu melindungi keduanya, memberi makan dan minum kepada keduanya, serta menghibur keterasingan keduanya. Ibrahim tidak memperdulikan protes Hajar yang membututinya. Hajar berkata, “Engkau membiarkan kami dan pergi begitu saja?” Hajar mengulangi pertanyaan itu berkali-kali, sementara Ibrahim tidak meladeninya. Ini adalah perintah Allah, dan perintah Allah tidak boleh dibantah. Inilah Islam dimana Ibrahim membawa dirinya kepadanya. “Ketika Tuhannya berfirman kepadanya, ‘Tunduk patuhlah!’ Ibrahim menjawab, ‘Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam.'”(Al-Baqarah:131).

Manakala Hajar merasa gagal mengorek jawaban, dia berkata, “Apakah Allah yang memerintahkanmu untuk melakukan ini?” Ibrahim menjawab, “Ya.” Pada saat itu tenanglah hati dan jiwa Hajar. Seorang mukmin mengetahui bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan orang yang menjawab perintah-Nya dan mewujudkan keinginan-Nya.

Ibrahim terus berjalan pulang. Ketika sampai di Tsaniyah dan tidak terlihat oleh hajar, dia berhenti menghadap ke arah Baitullah, mengangkat kedua tangannya ke langit dan berbisik kepada Tuhannya, “Ya Rabb kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mepunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormat). Ya Rabb kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rizkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (Ibrahim:37). Allah telah mengabulkan doanya dan merealisasikan harapannya.

Ibu Ismail tinggal selama berhari-hari. Dia minum dari kantong air yang ditinggalkan oleh Ibrahim untuknya dan makan kurma serta menyusui putranya. Akan tetapi kurma dan air itu cepat habis. Ibu Ismail haus dan lapar. Anaknya pun ikut lapar dan haus bersamaan dengan lapar hausnya ibunya. Dia berguling-guling karena kehausan. Ibu Ismail tidak tega melihatnya. Kondisi itu mendorongnya untuk mencari sesuatu yang bisa menghapus rasa hausnya dan menghidupi dirinya.

Ibu Ismail melihat Shafa, bukit paling dekat dengannya. Jika seseorang ingin mengetahui apa yang ada di sekelilingnya maka dia akan naik ke tempat yang tinggi agar bisa leluasa memandang dan mencari apa yang dia inginkan.

Ibu Ismail naik ke Shafa. Dia memandang dengan cermat. Tak seorang pun terlihat. Maka dia turun ke lembah untuk menuju bukit lain yang dekat, yaitu Marwah. Dia naik ke Marwah. Dia melihat seperti yang dia lakukan di bukit Shafa. Tak ada yang membantunya, tak ada yang menolongnya. Begitulah dia modar-mandir di antara Shafa dan Marwah sampai tujuh kali. Pada saat dia mondar-mandir itu, dia menyempatkan diri menengok anaknya, untuk menghilangkan rasa cemas dan mengetahui keadaannya. Kemudian dia meneruskan mondar-mandir. Inilah sa’i pertama di antara bukit Shafa dan Marwah. Dan sa’i yang pertama kali dilakukan oleh Hajar ini menjadi salah satu syiar ibadah haji dan umrah.

“Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya.” (Al-Baqarah:158)

Setelah putaran ketujuh dia mendengar suara. Dia mencermatinya. Dia berkata kepada dirinya, “Diamlah.” Sepertinya dia ingin agar bisa mendengar sejauh mungkin. Ternyata suara itu terdengar oleh telinganya untuk kedua kalinya. Dia berkata kepada sumber suara itu, “Aku telah mendengar suaramu, jika kamu berkenan untuk menolong.” Dia meneliti sumber suara itu. Dia melihat, ternyata suara itu berasal dari putranya. Ternyata Malaikat Allah, Jibril, sedang memukulkan tumitnya atau sayapnya ke tanah di tempat Zamzam. Air pun memancar.

Ibu Ismail telah mencari air dari atas bukit-bukit yang tinggi, lalu Allah mengeluarkan air untuknya dari bawah kaki putranya yang masih bayi. Tentu kebahagiaan ibu Ismail sangatlah besar sekali. Tidak ada air, itu berarti kematian untuknya dan putranya. Memancarnya air adalah kehidupannya dan kehidupan putranya beserta kehidupan lembah di mana dia tinggal.

Menurut pengamatanku, Jibril menjelma dalam bentuk seorang laki-laki, sehingga Hajar melihatnya dan berbicara kepadanya dan dia pun berbicara kepada Hajar. Sebagaimana Jibril juga pernah menjelma menjadi seorang laki-laki pada masa Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam dan dilihat oleh para sahabat, dan mereka pun mendengar ucapannya. Hal ini berdasarkan kepada bukti bahwa Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam tidak pernah melihat Jibril dalam bentuk aslinya seperti yang diciptakan oleh Allah kecuali dua kali. Pada kali pertama Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam sangatlah ketakutan.

 Ibu Ismail, karena didorong oleh insting untuk mengumpulkan air dan menjaga persediaannya sebanyak mungkin, maka dia membendung air itu hingga dia bisa mengisi kantong airnya. Seandainya dia membiarkannya mengalir dan berjalan, niscaya ia akan menjadi mata air yang mengalir. Tentang hal ini Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, “Semoga Allah memberi rahmat kepada ibu Ismail. Seandainya dia membiarkan Zamzam” -atau beliau bersabda, ‘Tidak menciduk air-‘ niscaya Zamzam menjadi mata air yang mengalir.”

Allah memberikan air kepada ibu Ismail untuk menghapus dahaganya, dan air susunya kembali menetes. Dia pun bisa menyusui putranya. Malaikat menenangkannya, “Jangan takut terlantar.” Malaikat menyampaikan berita gembira kepadanya, bahwa bayinya akan membangun Baitullah bersama ayahnya dan bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan keluarganya.

Allah menyempurnakan nikmat kepada Ismail dan ibunya. Maka datanglah orang-orang ke lembah itu untuk menetap. Ibu dan Ismail pun mulai kerasan. Keterasingan sedikit demi sedikit mulai lenyap. Sekelompok orang dari suku Jurhum melewati daerah di dekat mereka. Mereka singgah di Makkah bagian bawah. Mereka melihat seekor burung berputar-putar di udara. Mereka mengetahui bahwa berputar-putarnya burung itu tidak lain karena di daerah itu terdapat air. Karena jika tidak ada air, maka burung itu akan terus berlalu dan tidak berhenti. Burung yang berputar-putar di udara seperti yang mereka saksikan itu adalah burung yang mengitari air dan mendatanginya. Hanya saja, mereka tetap meragukan perkiraan mereka sendiri, karena mereka mengenal betul daerah tersebut, sebuah lembah tanpa air dan tanpa penghuni. Untuk memastikannya, mereka mengutus seseorang dari kalangan mereka. Utusan itu kembali dengan menyampaikan apa yang dilihatnya kepada mereka. Mereka pergi kepada ibu Ismail. Dengan mata kepala mereka sendiri, mereka melihat air yang memancar dari bebatuan. Mereka takjub dan meminta ibu Ismail agar mengizinkan mereka untuk tinggal bersamanya. Ibu Ismail setuju, dengan syarat bahwa mereka tidak berhak terhadap air. Mereka hanya boleh minum. Mata air tetap menjadi hak ibu dan Ismail. Maka mereka mendatangkan keluarga mereka dan tinggal bersama ibu Ismail.

Ismail tumbuh dengan baik menjadi seorang pemuda di lingkungan itu. Seorang pemuda yang giat lagi rajin, diimbangi oleh akhlak dan sifat-sifat luhur. Orang-orang yang tinggal bersamanya menghormatinya dan mencintainya. Mereka menikahkannya dengan gadis mereka.

Ibu Ismail meninggal setelah Ismail menjadi seorang pemuda, dan dia pun tenang kepadanya. Kematian adalah akhir kehidupan yang hidup. Lalu Ibrahim datang menengok anaknya. Dia tidak menemulan Ismail di rumahnya. Ismail sedang keluar mencari rizki untuk keluarganya. Isteri Ismail mengeluhkan kehidupannya. Manakala Ibrahim bertanya tentangnya, dia memberitahukan bahwa mereka hidup dalam keadaan sulit dan sengsara. Ibrahim meminta kepada isteri Ismail agar menyampaikan salamnya kepada Ismail dan berpesan kepadanya agar dia merubah palang pintu rumahnya.

Isteri Ismail tidak tahu bahwa bapak tua yang singgah padanya adalah mertuanya. Dia juga tidak tahu jika pesannya yang disampaikan kepada suaminya berisi perintah untuk menceraikannya. Ismail mentaati pesan bapaknya, dan isterinya ditalaknya.

Ibrahim melihat wanita tersebut tidak layak menjadi isteri seorang Nabi sekaligus Rasul yang disiapkan untuk memimpin dan mengarahkan serta mendidik keluarga, anak-anaknya dan orang-orang di sekitarnya. Isteri yang memperpanjang keluhan dan hobi ngedumel tidak mungkin menjadi penopang suami yang memikul tugas-tugas besar.

Ketika Ibrahim kembali lagi, dia bertemu dengan seorang wanita yang lain dari sebelumnya. Ibrahim rela putranya menikah dengannya dan meminta anaknya agar mempertahankannya. Ibrahim bertanya tenntang kehidupan mereka. Isteri Ismail

menjawab, “Segala puji bagi Allah, kami dalam kebaikan dan kemudahan.” Ibrahim bertanya tentang makanan dan minum mereka. Dia menjawab, “Daging dan air.” Maka Ibrahim mendoakan keberkahan kepada mereka pada daging dan air. Seandainya mereka mempunyai biji-bijian yang ereka makan, niscaya Ibrahim akan mendoakannya juga sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam.

Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam menyapikan bahwa di antara keberkahan doa Ibrahim adalah bahwa penduduk Makkah tetap hidup sehat walau hanya makan daging dan minum air. Padahal, selain mereka bisa berakibat celaka jika hanya makan daging dan air saja.

Untuk ketiga kalinya Ibrahim datang mengunjungi anaknya dan mencari tahu tentang beritanya. Ibrahim mendapatkannya di rumah sedang duduk meraut anak panah di bawah pohon itu, pohon di mana dulu Ibrahim meninggalkannya dengan ibunya pada saat mereka datang pertama kali di tempat itu. Ismail bangkit kepadanya. Keduanya melakukan apa yang biasa dilakukan oleh ayah kepada anaknya dan anak kepada ayahnya yang lama tidak bertemu. Mereka saling memberi salam, berangkulan, berjabat tangan, dan lain sebagainya. Ibrahim menyampaikan perintah Allah kepadanya, agar membangun Baitul Haram dan bahwa Dia memerintahkan Ismail untuk membantunya. Maka ismail bersegera melaksanakan perintah Allah. Ibrahim membangun Baitullah dengan bantuan Ismail. Sambil membangun keduanya berdoa, “Ya Rabb kami, terimalah dari kami (amal kebaikan kami). Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha mengetahui.” (Al-Baqarah:127).

VERSI TAURAT

(Taurat adalah Kitab yang diturunkan kepada Musa. Ia telah mengalami banyak penyimpangan, dan sisa-sisanya terdapat di dalam kitab yang diberi Taurat di kitab-kitab lima pertama, yang dinamakan dengan nama syariat. Orang-orang Yahudi yang menulisnya telah banyak melakukan penambahan dan semuanya mereka beri nama Taurat dengan perselisihan di natara mereka, mana yang diterima dan mana yang ditolak)

Kisah ini terdapat di dalam Taurat. Akan tetapi, anda tidak akan mendapatkan penjelasan dan perincian seperti yang ada di dalam Hadis. Jika Anda membaca kisah Taurat dengan kacamata Hadis, maka Anda akan menemukan bagaimana hadis membenarkan riwayat Taurat dan membongkar penyelewengan dan penggubahan yang menimpa kisah ini sepanjang masa.

Kisah ini tertulis dalam Ishlah 16 dan Ishlah 21 dalam Safar Takwin. Nashnya adalah, “Saray isteri Abram (Saray adalah nama Sarah sebelumnya, dan Abram adalah nama Ibrahim sebelumnya. Taurat menyatakan bahwa pergantian kedua nama itu dengan perintah Allah.) belum kunjung melahirkan anak. Dia memiliki hamba sahaya dari Mesir bernama Hajar. Saray berkata kepada Abram, “Tuhan belum mengizinkanku untuk melahirkan. Menikahlah dengan hamba sahayaku. Mudah-mudahan aku mempunyai anak darinya.” Abram mendengar ucapan Saray. Maka Saray, isteri Abram, mengambil hamba sahayanya, Hajar Al-Misriyah, setelah sepuluh tahun berlalu sejak Abram tinggal di bumi Kan’an. Saray memberikan Hajar kepada Abram, suaminya, agar memperisterinya. Maka Abram melakukannya dan Hajar hamil.

Manakala Saray melihat Hajar hamil, dia merasa rendah di depan matanya. Saray berkata kepada Abram, “Kezhalimanku atasmu. Aku memberikan hamba sahayaku kepadamu. Ketika aku melihatnya hamil, aku merasa rendah di matanya. Semoga Alah memutuskan antara diriku dengan dirimu.”

Abram berkata kepada Saray, “Itu dia hamba sahayamu di tanganmu. Lakukanlah apa yang menurutmu baik di matamu.” Maka Saray menghinakannya dan Hajar minggat dari sisinya.

Malaikat Tuhan mendapatkan Hajar di tanah lapang di sebuah mata air di jalan Syur. Malaikat bertanya, “Wahai Hajar hamba sahaya Saray, dari mana engkau datang dan kemana engkau pergi?” Hajar menjawab, “Aku minggat dari sisi majikanku, Saray.” Malaikat Tuhan berkata kepadanya, “Pulanglah kamu kepada majikanmu dan tunduklah di bawah kekuasaannya.”

Malaikat Tuhan berkata kepada Hajar, “Semoga keturunanmu banyak hingga tidak terhitung.” Malaikat Tuhan berkata kepadanya, “Inilah kamu yang sekarang hamil. Kamu akan melahirkan anak laki-laki. Kamu memanggil namanya Ismail. Sesungguhnya Tuhan telah mendengar kesengsaraanmu. Anakmu akan menjadi orang kuat. Tangannya di atas setiap orang dan tangan setiap orang di atasnya, dan di depan seluruh saudaranya, dia tenang.”

Lalu Hajar memanggil nama Tuhan yang berbincang dengannya, “Engkau adalah il Raay,” karena dia berkata, “Apakah disini juga saya melihat setelah melihat, oleh karena itu sumurnya di beri nama sumur kaum Raay, inilah sumur itu di antara Qadisy dan Barid.” Lalu Hajar melahirkan anak laki-laki Abram. Abram memanggil anaknya yang dilahirkan oleh Hajar dengan nama Ismail. Pada saat Hajar melahirkan Ismail, umur Abram adalah 86 tahun.

Dalam Ishlah 21 dalam Safar Takwin tertulis:

“Sarah melihat putra Hajar Al-Misriyah sedang bergurau, Sarah berkata kepada Ibrahim, ‘Usirlah wanita itu dan anaknya, karena putra wanita hamba sahaya itu tidak berhak atas warisan di depan anakku Ishaq.'” Ucapan yang sangat buruk dalam pandangan Ibrahim karena anaknya. Lalu Allah berfirman kepadanya, “Jangan menjadi buruk di matamu hanya karena anak laki-laki dan hamba sahayamu dalam segala ucapan Sarah kepadamu. Dengarkanlah ucapannya, karena kamu dianggap memiliki keturunan melalui Ishaq. Dan putra hamba sahayamu itu akan aku jadikan sebagai umat, karena dia adalah keturunanmu.”

Pada pagi harinya Ibrahim bersiap-siap. Dia membawa roti dan kantong air lalu memberikannya kepada Hajar dengan meletakkanya keduanya di pundak Hajar yang mengendong anak dan memerintahkannya pergi. Hajar pergi dan tersesat di daratan sumur tujuh. Ketika air yang dikantong telah habis, Hajar meninggalkan anaknya di bawah sebuah pohon. Hajar menjauh dan duduk membelakanginya sejauh lemparan busur. Dia berkata, “Aku tidak mau melihat kematian anak.” Hajar duduk membelakanginya dan menangis dengan keras. Lalu Allah mendengar suara anaknya dan Malaikat Allah memanggil Hajar dari langit. Dia berkata kepadanya,”Ada apa denganmu, wahai Hajar? Jangan takut, karena Allah telah mendengar suara anakmu seperti adanya. Bangkitlah, bawalah anakmu, kuatkan tanganmu padanya, karena aku akan menjadikannya umat yang besar.” Dan Allah membuka kedua mata Hajar maka dia melihat sumur air. Dia mendekatinya dan memenuhi kantongnya dengan air dan memberi minum anaknya. Allah bersama anak itu, hingga dia menjadi besar dan tinggal di daratan. Dia tumbuh menjadi seorang pemanah. Dia tinggal di daratan Faran dan ibunya menikahkannya dengan seorang wanita dari Mesir.”

Komentar Menyangkut Kisah dalam Taurat

Ada beberapa poin dalam kisah ini yang benar karena sesuai dengan pemberitaan Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam dalam hadis yang kami sebutkan dan hadis-hadis lainnya. Di antaranya, bahwa Sarah memberikan hamba sahayanya Hajar kepada Ibrahim dengan harapan agar Ibrahim bisa memperoleh anak darinya dan Hajar hamil setelah Ibrahim menikahinya; bahwa Hajar menjadi percaya diri ketika dia hamil, sementara majikannya menjadi turun pamornya di matanya; bahwa Sarah marah terhadap Hajar yang kemudian minggat dari hadapannya; bahwa Sarah meminta Ibrahim untuk mengusir Hajar dan putranya, sehingga Ibrahim mengeluarkan Hajar ke daratan dengan dibekali sedikit makanan dan kantong air; bahwa Hajar bersedih ketika airnya habis; dan bahwa Malaikat Tuhan turun dan menenangkannya serta memberitahukan tempat air kepadanya.

Tidaklah benar apa yang disebutkan dalam kisah taurat bahwa Ibrahim memberi Hajar sekantong air dan makanan dan memintanya membawanya, dan bahwa Hajar pergi tak tentu arah di daratan tersebut. Yang benar adalah seperti yang tercantum di dalam hadis, bahwa Ibrahim membawa sekantong air dan tempat bekal berisi kurma dan dia meninggalkan Hajar beserta anaknya di sebuah lembah tandus di Baitullah Al-Haram. Apa yang disebutkan di dalam hadis tentang keadaan Hajar, habisnya air, sa’i Hajar di antara Shafa dan Marwah, datangnya Jibril yang memancarkan air, dan perincian-perincian lain tidaklah disinggung dalam Taurat. Apa yang disebutkan dalam Taurat tidaklah secermat dan sejelas seperti dalam hadis.

Tidak benar kalau Sarah menyuruh Ibrahim mengusir Ismail ketika dia melihatnya bergurau, dan bahwa Sarah menolak Ismail menjadi ahli waris bersama Ishaq anaknya. Karena, pada saat Ismail dibawa oleh bapaknya ke Makkah, ia masih seorang bayi yang menyusu dan belum sampai pada umur yang memungkinkan untuk bergurau. Adapun Ishaq, dia pada saat itu belum dilahirkan.

Apa yang disebutkan dalam Taurat bahwa Ibrahim menggauli Hajar setelah sepuluh tahun dari tinggalnya di bumi Kan’an; bahwa minggatnya Hajar dari Sarah adalah ke mata air di jalan Syur, dan Malaikat meminta agar Hajar kembali kepada Sarah dan patuh kepadanya; dan bahwa Ibrahim pada waktu Ismail lahir berumur 86 tahun; semua itu Allah lebih mengetahui kebenarannya.

Pelajaran-Pelajaran dan Faedah-Faedah Hadis

  1. Kisah ini mengandung banyak informasi dan fakta yang tidak mungkin kita ketahui seandainya Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam tidak memberitahukannya kepada kita. Informasi-informasi berharga tentang nenek moyang yang mulia, tentang tumbuhnya kota suci, tentang pembangunan Baitul Atiq, dan lain sebagainya.
  2. Ketaatan Ibrahim kepada perintah Allah agar membawa isteri dan anaknya ke tempat itu, walaupun perkaranya sedemikian sulit atas dirinya. Seorang hamba bisa jadi membenci sesuatu, sementara kebaikan tersimpan di dalamnya; dan dia bisa jadi menyukai sesuatu, padahal itu buruk baginya.
  3. Allah menjaga dan melindungi para walinya sebagai mana Dia telah menjaga Hajar dan Ismail manakala Ibrahim meninggalkannya di tempat itu.
  4. Berserah diri kepada perintah Allah tidak menafikan usaha seorang hamba dalam perkara yang mengandung kebaikannya. Hajar mencari sesuatu yang bisa menjaga kelangsungan hidupnya dan hidup putranya, walaupun dia berserah diri kepada perintah Allah.
  5. Kemampuan Allah mengeluarkan air dari batu yang keras, seperti Dia mengeluarkan air Zamzam.
  6. Perhatian dan nasihat bapak kepada anak tentang sesuatu yang menurutnya baik bagi anaknya. Ibrahim selalu mengunjungi anaknya untuk mengetahui kondisi dan keadaannya dan mengarahkan kepada sesuatu yang baik baginya.
  7. Menggerutu karena minimnya rizki dan sulitnya hidup bukan termasuk akhlak orang-orang shalih. Ibrahim membenci sifat ngedumel dari isteri Ismail akan beratnya kehidupannya bersama Ismail. Sebaliknya, sabar atas minimnya bekal dan sikap syukur atas nikmat Allah termasuk akhlak-orang-orang shalih. Oleh karena itu, Ibrahim memuji isteri ismail yang ridha dan bersyukur.
  8. Doa orang shalih agar makanan dan minuman menjadi berkah, sebagaimana Ibrahim mendoakan daging dan air bagi penduduk Makkah agar menjadi berkah.
  9. Menampakkan perasaan bahagia dan senang pada waktu bertemu orang yang dicintai. Mengungkapkannya dengan sikap seperti yang dilakukan oleh Ibrahim dan Ismail ketika keduanya bertemu.
  10. Ismail adalah seorang pemanah yang mahir dan pemburu yang ahli. Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda kepada sahabat-sahabatnya, “Wahai Bani Ismail, panahlah karena bapak kalian adalah seorang pemanah.” (Diriwayatkan oleh Bukhari di beberapa tempat dalam Shahihnya. Lihat no. 97 dan 3371)
  11. Saling tolong menolong di antara anggota keluarga dalam berbuat kebaikan, sebagaimana Ismail membantu bapaknya membangun Ka’bah.
  12. Bakti Ismail kepada bapaknya. Dia taat kepada ayahnya untuk menceraikan isteri pertamanya dan menahan isteri keduanya. Jika ayah yang meminta mentalak isteri dengan pertimbangan-pertimbangan syar’i seperti Ibrahim, maka anak tidak boleh menolak.
  13. Ismail adalah bapak orang Arab Musta’ribah, yaitu Arab Hejaz. Adapun kabilah-kabilah Himyar, yaitu Yaman, maka mereka kembali kepada Qahthan. Orang-orang Arab sebelum Ismail dikenal dengan sebutan orang Arab Aribah, dan mereka terdiri dari banyak kabilah. Di antara mereka adalah Ad, Tsamud, Jurhum, Thasm, Jadis dan Qahthan. Kebanyakan dari mereka telah binasa dan punah. (Al-Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir, 1/120,2/165). Dalam hadis shahih disebutkan bahwa Ismail adalah orang pertama yang mengucapkan bahasa Arab dengan lisan yang jelas ketika dia berumur empat belas tahun. (Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menisbatkannya kepada Thabrani dan Dailami, dihasankan oleh Ibnu Hajar, dan dishahihkan oleh Albani dalam Shahihul Jami’, no.2581).
  14. Koreksi Al-Qur’an dan hadis yang shahih terhadap kesalahan dan penyimpangan Taurat.

Sumber: Buku “Ensklopedia Kisah Shahih Sepanjang Masa”, DR. Umar Sulaiman Abdullah Al-Asyqar, Pustaka Yassir

Artikel: www.KisahIslam.net

Facebook Fans Page: Kisah Teladan & Sejarah Islam

Comments
All comments.
Comments
  1. udik says:

    Assalamualaikum,melihat kisah diatas, saya pingin bertanya :
    kapan saat perintah Allah kepada Nabi Ibrahim utk menyembelih Nabi Ismail, krn menurut kisah di atas bahwa Nabi Ibarhim setelah meninggalkan Hajar dan Ismail (bayi) tdk pernah bertemu lagi dgn mereka, Nabi Ibrahim ketemu kembali dgn Nabi Ismail setelah Nabi Ismail Beristri dan Ibu Hajar Meninggal. Wassalam.