Ibadah Lebih Kusenangi Daripada Jabatan

Oleh : Ustadz Abu Faiz hafidzhullah

Saat tulisan ini dibuat, dinegeri kita tengah terjadi perebutan “kursi” dalam bingkai pesta demokrasi. Para “peserta kontes” melakukan apa saja yang sekiranya dapat mewujudkan impiannya. Unjuk diri, obral janji dan pasang tampang menjadi hal yang wajib. Masing-masing menjanjikan bahwa dialah yang paling mampu memimpin bangsa ini. Seakan-akan mereka-mereka lupa bahwa cara yang ditempuh tidak dibenarkan syari’at. Bagi mereka, yang penting bisa menjadi pemimpin dan meraup keuntungan darinya (baca:mengembalikan modal)

Kalau begitu keadaannya, bisakah ia menjadi seorang pemimpin yang berlaku adil dihadapan Allah Azza wa Jalla dan rakyatnya?! Ataukah tujuannya hanya sekadar ingin memperoleh sanjungan dan kehormatan dari manusia? Ada baiknya kita menyimak kisah berikut ini sebagai pelajaran bagi kita semua, terutama bagi para pemburu kekuasaan agar bisa melakukan introspeksi. Mudah-mudahan kita menjadi hamba Allah Azza wa Jalla yang senantiasa taat kepadaNya.Aamiin.

Alkisah

Al-Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan sebuah kisah menarik dari Sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pernah bercerita :

Ada seorang lki-laki dari orang-orang sebelum kalian yang hidup sebagai seorang raja. Pada suatu saat terbersit dalam benaknya bahwa semua aktivitas yang kini dia kerjakan akan menghabiskan seluruh waktunya [1] dan hal itu akan menyibukkan dirinya dari beribadah kepada Allah Azza wa Jalla.

Kemudian pada suatu malam dia bertekad mencari jalan untuk keluar dari dalam istananya [2] (tanpa diketahui oleh siapapun) sehingga pada waktu subuh dia telah berada di sebuah negeri yang dikuasai oleh raja yang lain. Sampailah dia di tepi (pesisir) sebuah pantai yang penduduknya memiliki kebiasaan bekerja sebagai pemerah susu dengan upah yang dapat memenuhi kebutuhannya. Maka dia pun bekerja dengan mengambil upah. Dia memakan sebagian hasil upahnya dan menyedekah sisanya. Dia senantiasa melakukan hal yang demikian hingga sampailah berita tentang keutamaan dan kuatnya ibadahnya kepada raja (penguasa) negeri tersebut.

Lalu sang raja (penguasa setempat) mengutus seorang utusan kepadanya agar dia mau datang menemui raja tersebut. Namun, ia enggan untuk bertemu raja tersebut. Sang raja kembali mengutus utusan untuk memanggil dan terus memanggil agar ia datang kepadanya namun dia tetap menolak panggilan raja seraya berkata: “tidak ada urusan antara aku dan dia.” Hingga akhirnya sang raja pun datang sendiri dengan menaiki tunggangannya yang gagah. Begitu melihat kedatangan raja tersebut ia langsung berpaling dan beranjak pergi. Maka sang raja segera menyusul dan mencari jejaknya namun tidak berhasil mengejarnya.

(Dalam keadaan demikian) sang raja itu memanggilnya: “Wahai hamba Allah, sesungguhnya aku tidak akan membahayakan dirimu.” Akhirnya, setelah dapat bertemu dengannya, sang raja bertanya: “Siapakah engkau? Semoga Allah merahmatimu.” Dia menjawab: “Aku adaah fulan bin fulan, pemilik kerajaan ini dan itu. Aku telah memutuskan perkaraku karena aku berpikir bahwa apa yang aku kerjakan selama (menjadi raja) itu menyita semua waktuku dan menyibukkan diriku dari beribadah kepada Robbku. Karena itu, aku tinggalkan itu semua dan aku datang kesini agar dapat beribadah kepada Allah.”

Sang raja menyahut: “Engkau tidak lebih membutuhkan hal itu daripada aku.” [3] Setelah berkata demikian, dia turun dari kendaraannya dan melepaskan tunggangannya lalu ikut bersama laki-laki itu kemanapun perginya. Kemudian mereka selalu hidup bersama untuk beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dan berdoa agar diwafatkan secara bersama. Akhirnya (Allah Azza wa Jalla mengabulkan doa mereka), mereka pun meninggal dunia.

(Usai menceritakan kisah diatas) Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Seandainya aku berada di Rumailah [4] Mesir sungguh aku akan perlihatkan kepada kalian kuburan keduanya dengan sifa yang telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam kepada kami.”

Kisah diatas diriwayatkan oleh Imam Ahmad: 1/451, Abu Ya’la:9/261, al-Bazzar dalam Musnad-nya: 4/267, dan dishohihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Tahrij Ahadist Shohihah: 6/805)

Ibroh

Kisah diatas adalah sepenggal perjalanan hidup seorang laki-laki sholih dari Bani Israil yang dipilih kaumnya untuk menjadi raja bagi mereka. Hanya, dia merasa khawatir apabila kesibukan dalam mengurus negerinya akan dapat melalaikan dirinya dari beribadah kepada Allah Azza wa Jalla.[5] Maka dengan tekad yang bulat dia memutuskan untuk pergi meninggalkan negerinya menuju bumi Allah Azza wa Jalla yang luas tanpa ada seorang pun yang mengetahuinya. Dia menjauh dari tugas-tugas kenegaraan agar terhindar dari kesombongan sebagai kepala negara dan dapat beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dengan leluasa.

Sesungguhnya tekad yang demikian bukanlah perkara yang mudah karena duduk di kursi kekuasaan apalagi sebagai seorang kepala negara, bersanding dengan para pejabat dan orang-orang yang berpangkat lainnya, menjadi pemegang segala putusan hukum, dikagumi dan dihormati manusia merupakan perkara yang sangat dicintai oleh jiwa. Oleh karena itu, sangatlah mustahil bagi seseorang semisal laki-laki tersebut untuk meninggalkan tahta dan kerajaannya kecuali apabila ketulusan hati dan panggilan hati nuraninya lebih besar daripada bisikan-bisikan kemegahan dan kekuasaan.

Sungguh hati laki-lkai tersebut telah dipenuhi rasa takut kepada Allah Azza wa Jalla dan dia sangat khawatir apabila dia terus bertelekan di atas singgasana kekuasaannya akan membuat murka Rabb-Nya. Rasa takut ini menjadikannya merasa mudah untuk meninggalkan itu semua menuju keadaan yang lebih baik.

Sekarang, mari kita bandingkan dengan keadaan para pemburu kursi kekuasaan pada hari ini. Mereka justru rela mengeluarkan uang dalam jumlah yang besar untuk melicinkan jalan menuju kursi yang dia idamkan, memenuhi hawa nafsu yang tiada akhirnya tersebut!! Wallahul Musta’an. Tidakkah mereka mendengar sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam :

“Barangsiapa yang minta dijadikan pemutus perkara (hakim) dan minta pertolongan atasnya maka akan dibebankan atasnya, dan barangsiapa yang tidak memintanya maka Allah akan mengutus malaikat untuk meneguhkannya.” (HR.Abu Dawud: 9/469)

Mungkin ada yang bertanya, bukankah lebih utama bagi dua orang raja dalam kisah tadi untuk tetap memegang kekuasaannya dan menggunakannya untuk memperbaiki masyarakat, memberantas kemungkaran, serta menebarkan kebaikan di negerinya dan menegakkan syari’at Allah Azza wa Jalla?

Jawabannya : Hal ini berbeda untuk tiap-tiap individu. Sebagian manusia tidak dapat berlaku adil dalam menanggung amanah kepemimpinan. Dia mendapati pada dirinya ketimpangan dalam menjalankan urusannya, bahkan bisa jadi kepemimpinan itu akan menggelincirkan jiwanya ke dalam lembah kenistaan dan perbuatan dosa kepada Allah Azza wa Jalla, atau terkadang dia mampu memegang tampuk kepemimpinan tetapi ia akan di hadapkan dengan penghalang-penghalang yang berbahaya yang dia tidak akan mampu menebusnya. Adapun apabila dia  mampu mengatur urusan rakyatnya, mampu tetap kokoh memberantas kemungkaran dan menyebarkan kebaikan, maka yang lebih utama baginya adalah tetap duduk di atas singgasana kekuasaannya. Di samping lebih utama, itu lebih banyak pahalanya daripada memutus diri dari urusan dunia demi beribadah kepada Allah Azza wa Jalla. Balasan sepadan dengan amal perbuatan.

Adapun kedua orang raja dalam kisah tadi termasuk golongan pertama. Mereka merasa dirinya tidak akan mampu memikul amanah kepemimpinan. Sebab itu, hidup jauh dari kehidupan duniawi lebih utama bagi mereka daripada tetap berada di atas kursi kepemimpinan namun di ambang jurang kehancuran. Wallahu A’lam.

Mutiara Kisah

Pada kisah diatas terdapat beberapa faedah yang bisa kita petik :

  1. Di antara hamba-hamba Allah Azza wa Jalla ada sebagian manusia yang lebih mendahulukan ibadah dan menghambakan diri kepada Allah Azza wa Jalla daripada kehormatan dan kekuasaan. Mereka adalah orang-orang pilihan yang berbeda dengan kebanyakan umumnya manusia, hingga hal itu menakjubkan manusia di manapun mereka berada.
  2. Pada kaum Bani Israil terdapat pada Khulafa’ (pemimpin negara) selain para anbiya’ (para nabi) yang mengurusi urusan mereka.
  3. Pada zaman tersebut sudah dikenal beberapa keahlian berupa kerajinan tangan seperti dijumpainya benda-benda industri dan produk olahan seperti barang tambang dan susu.
  4. Disyari’atkannya mu’amalah berupa bekerja yang dibayar dengan upah tertentu, dimana mereka bekerja dengan memerah susu yang dengannya dapat memenuhi kebutuhan hidupnya seperti yang dilakukan oleh seorang raja yang lari dari negerinya tersebut. Wallahu A’lam.

Note :

[1] Dalam sebuah riwayat bahwa ia senantiasa sholat malam di atas Baitul Maqdis ditengah terangnya bulan

[2] Dalam riwayat lain dia keluar dengan menggunakan tambang yang terikat di masjid.

[3] Artinya : “Akupun merasakan hal yang sama sepertimu.” (pen)

[4] Ramallah adalah bentuk tashgir (pengecilan) dari Romlah. Romlah adalah salah satu nama kota di Palestina yang berada  dekat dengan Baitul Maqdis. Dikatakan bahwa yang disebut sebagai ar-Rumailah ada tiga tempat yaitu sebuah kota yang ada di Palestina, sebuah tempat antara Bashrah dan Makkah, dan sebuah perkampungan yang ada di Bahrain. (Lihat Mu’jam al-Buldan: 3/73). Dr Umar Sulaiman Abdullah al-Asyqor berkata: “Mungkin juga yang dimaksud ar-Rumailah disini adalah sebuah kota yang berpasir berada di dekat pantai di Mesir atau sebuah kota yang tidak penting dan tidak dikenal manusia sehingga disebut dengan sebutan itu (pengecilan, Red).” (Shohih Qoshos han Nabawi: 297)

[5] Memang inilah kenyataan yang sering terjadi pada kebanyakan para pemegang amanat rakyat, mereka sering melalaikan tugasnya sendiri sebagai seorang hamba Allah Azza wa Jalla yaitu untuk beribadah kepada Allah Azza wa Jalla.

Sumber : Disalin ulang dari Majalah al Furqon Edisi 10 Tahun Kedelapan Jumadal Ula 1430/Mei 2009 Hal.51-52

Artikel: www.KisahIslam.net

Facebook Fans Page: Kisah Teladan & Sejarah Islam