Asal Usul Kerahiban [1] Dalam Agama Nasrani

Agama Nasrani diturunkan Allah kepada Nabi Isa ‘alaihissalam sebelum masa di utus nya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Al-Qur’an menetap kan bahwa Isa bin Maryam ‘alaihissalam adalah seorang Nabi dan Rosul yang di utus pada umat sebelumnya dengan membawa kebenaran.

Biara dan kuil termasuk bagian dari perjalanan agama Nasrani . Bangunan ini sekarang digunakan panganut ajaran Nasrani untuk menjauhkan diri dari khalayak, meninggalkan segala kenikmatan dunia, tidak beristri atau bersuami dan sebagainya. Namun bagaimanakah aqidah orang-orang di dalamnya? Benarkah ini bagian dari ajaran Taurat dan Injil? Semoga kisah berikut dapat menjawabnya. Wallahu’alam

Alkisah

Imam an-Nasa’i meriwayatkan sebuah kisah dari sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya beliau mengatakan :

Setelah Isa bin Maryam ‘alaihissalam diangkat, para raja mengubah-ubah Taurat dan Injil. Namun demikian, masih ada sebagian orang-orang yang beriman yang membaca kitab Taurat (asli). Lalu (orang-orang yang menyimpang) berkata kepada raja-raja mereka itu: “Kami tidak menjumpai suatu celaan yang menghinakan daripada celaan mereka (orang-orang yang beriman kepada taurat) terhadap kami, karena mereka selalu membaca ayat:

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yag kafir.” [2]

Dengan ayat-ayat yang mereka baca tersebut mereka menghina kami sebab perbuatan-perbuatan yang kami lakukan. (sebab itu) panggillah mereka dan perintahkan kepada mereka untuk membaca (Taurat) seperti yang kami baca dan mengimani sebagaimana yang kami imani.

Kemudian para raja memanggil mereka (orang-orang yang beriman dengan taurat) dan mengumpulkan mereka serta mengancam akan membunuh mereka semua, kecuali kalau mereka mau meninggalkan pembacaan kitab Taurat dan Injil serta beralih pada kitab yang telah mereka ubah.

Lalu mereka (orang-orang yang beriman) berkata: “Apa yang kalian inginkan dari hal itu? Biarkanlah kami (tetap hidup, Red).”

Sebagian yang lain berkata: “Bangunkanlah untuk kami sebuah menara yang tinggi dan biarkanlah kami tinggal menyendiri di sana, lalu berilah kami tangga yang dapat membawa makanan dan minuman untuk kami, dan kami tidak akan mengganggu urusan kalian.”

Sebagian yang lain berkata: “Biarkanlah kami berpetualang di muka bumi ini. Kami akan makan dan minum seperti halnya makan dan minumnya binatang buas. Apabila kalian masih menjumpai kami berada di kawasan kalian, bunuhlah kami.”

Sebagian lain mengatakan: “Bangunkan untuk kami sebuah biara di tempat terpencil, yang (ditempat itu) kami akan menggali sumur, menanam sayuran, dan kami tidak akan ikut campur urusan kalian.”

Maka setelah itu setiap kabilah (kelompok orang beriman) memiliki keturunan dan kaum tersendiri. Dan atas merekalah turun ayat Allah subahanahu wa ta’ala:

“…. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyah (kerahiban) padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhioan Allah, lalu mereka tidak memelharanya dengan pemeliharaan yang semestinya…”[3]

Sehingga (setelah zaman berganti) manusia berkata: “Kami akan (mencontoh cara) beribadah sebagaimana ibadahnya si fulan, dan kami akan mengembara sebagaimana mengembaranya si fulan, dan kami juga akan membangun biara sebagaimana si fulan.” Padahal mereka ketika itu berada pada kesyirikan. Meraka tidak mengetahui keimanan orang-orang terdahulu yang mereka ikuti tersebut.

Tatkala Allah subhanahu wa ta’ala megutus nabi-Nya yang mulia (Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam) tidaklah tersisa dari golongan mereka (orang-orang yang beriman kepada Taurat dan Injil) kecuali sedikit. Turunlah seorang laki-laki dari menara tempat ibadahnya, dan datanglah seorang laki-laki dari pengembaraannya, serta keluarlah pemilik biara dari biaranya lalu mereka beriman dengan diutusnya Nabi Muhamad shalallahu ‘alaihi wasallam dan membenarkan beliau. Maka Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian…” [4]

Dua pahala disebabkan keimanan mereka kepada Isa bin Maryam ‘alaihissalam, kepada Taurat dan Injil, dan keimanan mereka kepada Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam serta membenarkan beliau.

“…. Dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan…” [5]

Dan mengikuti Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam.

“(Kami terangkan yang demikian itu) supaya ahli kitab mengetahui….”[6]

Dan akhirnya mereka dapat mencontoh kalian.

“… Bahwa mereka tiada medapat sedikit un akan karunia Allah (jika mereka tidak beriman kepada Muhammad)…” [7]

Kisah di atas diriwayatkan oleh Imam an-Nasa’i dalam sunan-Nya: 8/231, bersumber dari sahabat Ibnu Abbas radhiyalahu’anhuma secara mauquf. Al-albani berkata tentang riwayat ini: “shohihul isnad mauquf.” (shohih Sunan an-Nasa’i:3/438 no. 5415)

Ibroh

Allah subhanahu wa ta’aala mewakil kan penjagaan keotentikan Taurat dan Injil pada ulama-ulama Bani Israil. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman;

“… oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka ,disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah…” (QS. Al-Ma’idah [5]:44)

Namun, mereka mengubah Kitab Allah subhanahu wa ta’ala tersebut karena mengkuti hawa nafsunya atau karena menuruti kemauan penguasa, dengan kerelaan hati atau karena paksaan dan ancaman dari para penguasa kufur, Namun Allah subhanahu wa ta’ala akan senantiasa menjaga kesucian dan kemurnian al-Qur’an dari perubahan karena Allah subhanahu wa ta’ala telah berjanji bahwa Dia-lah sendiri yang akan selalu menjaganya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr {15}:9)

Perubahan-perubahan tersebut terjadi pasca diangkatnya Nabiyulloh Isa ’alaihissalam. Kitab Taurat dan Injil pada zaman nabi Isa ’alaihissalam selamat dari perubahan-perubahan dan penyimpangan-penyimpangan. Namun demikian, tidak semua nuskhoh (naskah)Taurot dan Injil dapat dirusak dan diubah pada zaman tersebut. Ada beberapa naskah yang berada ditangan-tangan ulama-ulama dan pendeta-pendeta mereka yang masih asli seperti ketika pertama kali diturunkan dan selamat dari perubahan. Sebagian Bani Israil pun mengetahui beberapa Kitab Taurat dan Injil yang masih asli tersebut. Mereka membacanya dan berpaling dari kitabTaurat dan Injil yang telah diubah.

Sehingga isi kitab Taurat dan Injil asli yang dibaca oleh orang-orang yang berpegang teguh pada kebenaran menyinggung hati orang-orang yang berpaling dari kebenaran. Kitab Taurat yang masih murni selalu mewajibkan mereka untuk berhukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan mengancam orang-orang yang enggan berhukum dengan hukum Allah subhanahu wa ta’ala dengan kekufuran dan kezaliman. Dalam hal ini Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Sesunguhnya kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu, janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Ma’idah [5]:44)

Mereka memperingatkan orang-orang yang tidak berhukum dengan kitab Taurat yang murni dengan kefasikan.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil,memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah didalamnya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 47)

Maka nash-nash semacam ini yang terdapat dalam Taurat dan Injil yang asli sangat menyakitkan hati orang-orang yang menyimpang dan mengubah keotentikan kitab Taurat dan Injil karena mereka merasa terancam dengan hukum kufur, zalim dan fasik. Terlebih lagi, amalan-amalan keseharian mereka menyimpang dari Taurat dan Injil.

Dengan dukungan para penguasa, mereka mengancam akan membunuh siapa saja yang mempertahankan keimanan dan menyelisihi keimanan para penguasa dan orang-orang yang tersesat.

Menghadapi ancaman ini, orang-orang beriman mengajukan usulan untuk dapat keluar dari ancaman tanpa harus meningalkan kebenaran. Sebagian memilih tinggal di menara-menara atau biara-biara yang berada di puncak-puncak gunung lalu makan dan minum disana tanpa harus berhubungan dengan manusia yang lain. Sebagiannya lagi memilih hidup mengembara di muka bumi yang luas, seperti halnya binatang buas yang tidak memiliki arah hidup dan tempat tinggal lalu makan dan minum di mana saja ia mendapatinya dari buah-buahan dan binatang-binatang buruan. Sebagian lagi meminta dibangunkan sebuah tempat yang sangat jauh dari kehidupan masyarakat kemudian mereka hidup disana, menggali sumur, menanam sayuran, dan tidak ikut campur dengan urusan manusia yang lain.

Kaum Bani Israil (penguasa dan orang-orang menyimpang) mengabulkannya. Inilah awal terjadinya rohbaniyyah yang dibuat-buat oleh orang-orang Nasrani.

Setelah waktu berlalu, datanglah kurun setelahnya orang-orang yang jahil (tidak tahu) akan sebab yang menjadikan para pendahulu mereka tinggal di puncak-puncak gunung, melanglang buana di bumi yang luas, dan menyendiri di tempat-tempat terpencil.

Orang-orang jahil ini menyangka bahwa hal itu adalah agama dan ajaran kebaikan, lalu mereka pun taklid dan ikut-ikutan. Mereka lakukan hal tersebut padahal mereka tetap dalam kesyirikan dan kekufuran. Berbeda dengan pendahulu mereka yang melakukan hal itu karena lari dari kekufuran serta menyelamatkan aqidah dan agama mereka.

Tatkala nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam diutus, tidaklah tersisa dari orang-orang yang berusaha mengikuti kebenaran para pendahulunya kecuali sedikit. Di antara mereka adalah tiga orang yang bertemu dengan salman al-farisi dan setelah itu datanglah sebagian yang lain dari biara-biara mereka dan dari kuil-kuil mereka kepada Rasulullah shalalahu ‘alaihi wasallam. Mereka membenarkan risalah yang dibawa oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Maka Allah subhanahu wa ta’ala memberikan dua pahala kepada mereka. Pahala karena mengikuti ajarannya Nabi Isa ‘alahissalam dan pahala karena mengikuti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai seorang utusan yang terakhir. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan dia mengampuni kamu, dan Allah maha pengampun lagi maha penyayang. (Kami terangkan yang demikian itu) supaya ahi kitab mengetahui bahwa mereka tiada mendapat sedikitpun akan karunia Allah (jika mereka tidak beriman kepada Muhammad), dan bahwasanya karunia itu adalah di tangan Allah. Dia berikan karunia itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al-Hadid [57]:29)

Mutiara Kisah

Beberapa pelajaran yang dapat kita petik dari kisah di atas adalah:

Sebab yang menjadikan kaum Nasrani menyendiri di dalam biara meninggalkan manusia adalah karena suatu maksud yaitu lari untuk menyelamatkan agama mereka dan menjaga aqidah yang benar dan bukanlah maksud mereka untuk memutus kehidupan dunia dan meninggalkan kenikmatan hidup di dunia.

Pada asalnya tidak ada syariátnya baik dalam agama Nasrani atau dalam agama Islam untuk mengurung diri atau mengembara tanpa ada tujuan yang jelas. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda “Pengembaraan umatku adalah dengan jihad fisabilillah.” (HR. Abu Dawud: 2/7, Mu’jam al-Kabir: 7/202) dan diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam al-Ma’rifah bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya tidaklah diwajibkan kepada kita rohbaniyyah (kerahiban), dan rohbaniyyahnya umatku hanyalah duduk di masjid menunggu sholat serta haji dan umroh.” (Lihat al-Khosho’ishul kubro: 2/316, Syarhus Sunnah: 1/364)

Besarnya kebencian para pengusung kebatilan terhadap orang-orang yang berusaha mempertahankan kebenaran, dan betapa besar kezaliman yang mereka lakukan ketika mereka dibantu oleh para penguasa.
Kelancangan Bani Israil mengubah kemurnian Taurat dan Injil padahal masih ada sebagian orang-orang Nasrani yang berada pada agama yang haq, bahkan sampai diutusnya Rosulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Jahil (bodoh)nya orang-orang yang datang belakangan, mereka menyendiri tinggal di biara-biara atau kuil-kuil dengan memutus kenikmatan dunia, padahal mereka tidak mengetahui sebab yang menjadikan orang-orang terdahulu yang mereka ikuti tinggal menyendiri (mengasingkan diri). Mereka menyangka bahwa hal tersebut karena ingin meninggalkan kenikmatan dunia untuk dapat selalu menjalankan ibadah kepada Robb-Nya. Wallohu A’lam.

Note:
[1] Yang dimaksud dengan kerahiban (rahbaniyyah) ialah perilaku orang-orang untuk tidak beristri atau tidak bersuami dan mengurung diri dalam biara.
[2] Lihat QS. Al-Maidah [5]:44.
[3] QS. Al-Hadid [57]:27
[4] QS. Al-Hadid [57]:28
[5] Idem
[6] QS. Al-Hadid [57]:29
[7] Idem

Sumber : Majalah al-Furqon edisi 9 tahun ke-8  Robi’uts Tsani 1430 H/April 2009 Hal.53-56

Dipublikasikan kembali oleh: www.KisahIslam.net

Facebook Fans Page: Kisah Teladan & Sejarah Islam