Benarkah Kisah “Puasanya Dua Wanita Penggunjing”?

Oleh : Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Latif Abu Yusuf hafidzahullah

Alkisah

Dikisahkan bahwa pada zaman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam ada dua orang wanita yang berpuasa, lalu ada yang menceritakan perihal keduanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Dia berkata: “Wahai Rasulullah, disini ada dua orang wanita yang berpuasa, keduanya hampir mati karena kehausan.” Ternyata Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam malah berpaling dan tidak menggubrisnya. Orang itu pun datang lagi kepada beliau dan kembali menceritakan kejadian tersebut. Dia berkata: “Wahai Rasulullah keduanya hampir mati.” Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Panggil keduanya.” Akhirnya kedua wanita itupun datang. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam meminta untuk diambilkan sebuah ember, lalu beliau bersabda: “Muntahlah.” Maka salah satu dari keduanyapun muntah, ternyata dia memuntahkan air nanah bercampur darah sehingga ember itu penuh, lalu beliau bersabda: “Kedua wanita ini berpuasa dari apa yang dihalalkan oleh Allah namun malah berbuka dengan apa yang diharamkan olehNya, keduanya duduk-duduk untuk makan daging manusia.” [1]

Kemasyhuran Kisah

Kisah in cukup masyhur dan banyak disampaikan oleh sebagian penceramah terutama saat bulan ramadhan untuk memperingatkan kaum muslimin yang sedang berpuasa agar tidak melakukan perbuatan haram semacam menggunjing.

Derajat Kisah Ini

Kisah ini LEMAH.

Syaikh al-Albani (silsilah Ahadist Dho’ifah 519) menyebutkan hadist:

“Sesungguhnya kedua orang wanita ini berpuasa dari ada yang dihalalkan oleh Allah namun berbuka dengan apa yang diharamkan oleh Allah atas keduanya. Salah seorang dari keduanya duduk pada yang lainnya lalu keduanya memakan daging manusia.”

Kemudian beliau (al-Albani) berkata: “Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (5/431) dari seseorang dari Ubaid maula Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam berkata: – lalu rowi hadist ini menceritakan kejadian diatas -. Sanad hadist ini lemah karena ada seorang rowi yang tidak disebut namanya. Al-Hafidz al-Iraqi (1/211) berkata: “Dia seseorang yang tidak dikenal.” Hadist ini juga diriwayatkan oleh ath-Thoyalisi (1/188), Beliau berkata: “Telah menceritakan kepada kami Robi’ dari Yazid dari Anas.” Sanad ini sangat lemah. Robi’ (yang dimaksud) ini adalah Robi’ bin Shobih, dia seorang yang lemah. Sedangkan Yazid (yang dimaksud disini) adalah Yazid bin Aban ar-Ruqosyi, dia seorang yang matruk (hadistnya ditinggalkan).”

Faedah

1.  Faedah pertama :

Kendati diketahui bahwa hadist ini lemah, janganlah seorang pun beranggapan bawah ghibah (menggunjing orang lain) saat puasa diperbolehkan. Pembahasan tentang lemahnya hadist ini sama sekali tidak menunjukkan hal itu. Akan tetapi, perlunya dibahas tentang kelemahan kisah ini hanya untuk menunjukkan bahwa kisah ini tidak boleh dinisbatkan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam.

Mengenai masalah ghibah, tidak ada seorang pun yang meragukan bahwa ghibah adalah haram baik pada saat puasa maupun tidak. Ketika menafsirkan Surat al-Hujorat ayat 12 diatas, Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ghibah haram menurut kesepakatan para ulama dan tidak ada perkecualian sedikitpun selain yang lebih kuat mashalatnya seperti untuk jarh dan ta’dil atau untuk sebuah nasihat.”

Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Para ulama sepakat bahwa ghibah merupakan dosa besar.”

Terlalu banyak dalil yang menunjukkan atas hal itu, diantaranya adalah ayat diatas dan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dalam hadist berikut:

Dari Anas radhiyallahu ‘anh, Beliau berkata: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Pada saat di mi’rojkan saya melewati satu kaum yang memiliki kuku dari tembaga, mereka mencakar-cakar wajah dan dada mereka. Maka saya  bertanya: “Wahai Jibril, siapakah mereka itu?” Jibril menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang makan daging manusia (berbuat ghibah, Pen) dan mencela kehormatan orang lain” (HR.Abu Dawud: 4878, liat shahih Targib: 2839)

Disamping itu, orang yang melakukan ghibah saat berpuasa dikhawatirkan puasanya tidak akan berpahala. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan haram dan malah mengerjakannya, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR.al-Bukhari)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Puasa adalah perisai, maka jangan berkata kotor, dan jangan berbuat kebodohan. Jika ada seseorang yang memerangimu dan mencelamu maka katakanlah: “Saya sedang pausa.” (HR.al-Bukhori dan Muslim)

2.  Faedah Kedua

Apakah ghibah membatalkan puasa ataukan tidak? Jawabannya, ghibah dan perbuatan haram lainnya tidak lah membatalkan hakikat puasa. Hanya, perbuatan haram tersebut bisa membatalkan atau mengurangi pahala puasa, sebagaimana keterangan diatas. Sementara itu, Ibnu Hazm rahimahullah menganggap bahwa semua perbuatan haram tersebut bisa membatalkan puasa seseorang. Beliau berkata (al-Muhalla no.734): “Puasa juga bisa batal dengan menyengaja berbuat maksiat, apapun perbuatan maksiat tersebut tanpa ada satu pun terkecuali, jika dia melakukannya dengan sengaja dan ingat kalau sedang puasa. Seperti menyentuh dan mencium selain istrinya, atau berdusta, ghibah, namimah (mengadu domba), sengaja meninggalkan shalat, berbuat dzalim (aniaya), atau perbuatan haram lainnya.”

Namun yang benar – insya Allah – adalah pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bawah ghibah tidaklah membatalkan puasa. Wallahu A’lam.

Note :

[1] Maksud lafadz “berpuasa dari apa yang dihalalkan oleh Allah” adalah keduanya menahan diri dari makan makanan halal, karena puasa keduanya saat itu adalah puasa Sunnah, sedangkan makna “dan berbuka dengan yang diharamkan oleh Allah” adalah bawah saat keduanya puasa, keduanya berbuat ghibah (menggunjing orang lain) sedangkan pelaku ghibah itu sama saja dengan memakan daging bangkai manusia: sebagaimana Firman Allah (yang artinya): “Hai orang-orang beriman , jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS.al Hujarat [49]: 12]

Sumber : Majalah al Furqon Edisi 10 Tahun Kedelapan Jumadal Ula 1430/Mei 2009 Hal.54-55

Artikel: www.kisahislam.net

Facebook Fans Page: Kisah Teladan & Sejarah Islam

Comments
All comments.
Comments