Al Manshur pun Tertakjub!

“Sungguh, aku belum pernah melihat seorang laki-laki seperti dia.”

Al-Manshur rahimahullah

“Manusia itu ibarat barang tambang berharga seperti tambang emas dan perak, orang terbaik pada masa jahiliyah akan menjadi orang terbaik juga dalam Islam, apabila mereka memahami (Islam),” sabda Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam yang tercantum dalam Shahih Muslim (4/2031, no. 2638)

Manusia yang dipermisalkan dengan tambang emas ini adalah orang-orang istimewa. Ia tetap bernilai, dan bermutu tinggi dimanapun ia berada. Ia tetap menjunjung tinggi kebaikan dimanapun ia berpijak. Ia tetap berbuat baik sekalipun kepada orang yang pernah menzhaliminya. Mungkin inilah gambaran orang yang pernah ditemui oleh Al-Manshur, hingga ia tertakjub dengan sikapnya.

Kisah menarik ini disebutkan oleh At-Tanukhi1 dan Al-Absyihi2:

Ahmad bin Musa berkata, Rabi’ pernah bercerita, “Aku tidak melihat seseorang yang lebih tegar dan lebih tabah dibandingkan seorang laki-laki yang diadukan kepada Amirul Mukminin Al-Manshur bahwa ia memegang titipan dan perbendaharaan harta Bani Umayyah, Al-Manshur kemudian memerintahkanku untuk mendatangkan laki-laki tersebut.

Aku pun berupaya mendatangkan laki-laki itu. Setelah berhasil mendapatkan laki-laki itu, aku menghadap kepada Amirul Mukminin bersamanya. Al-Manshur kemudian berkata kepadanya, “Kami diberi laporan bahwa seluruh harta perendaharaan Bani Umayyah ada padamu. Sekarang, keluarkanlah harta itu!”

Laki-laki itu menjawab, “Maaf wahai Amirul Mukminin, apakah Anda menjadi ahli waris dari Bani Umayyah?”

“Bukan.”

“Apakah Anda menjadi orang yang diwasiati untuk mendapatkan harta-harta dan rumah-rumah mereka?”

“Tidak.”

Laki-laki itu bertanya lagi, “Lalu, apa maksud pertanyaan Anda dengan harta yang ada di tangan saya?”

Mendengar pertanyaan itu, Khalifah Al-Manshur menundukkan kepala sejenak lalu sebentar kemudian mengangkatnya sambil berkata, “Sesungguhnya Bani Umayyah telah berbuat zhalim terhadap kaum muslimin dalam harta itu, dan aku sebagai wakil dari kaum muslimin bermaksud mengambil hak mereka, Dan, aku ingin mengambil harta yang mereka dapatkan secara zhalim untuk aku masukkan ke dalam Baitul Mal mereka.”

Mendengar alasan itu, laki-laki itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, Anda membutuhkan bukti yang adil bahwa harta yang ada pada saya merupakan harta kaum muslimin yang dikhianati dan dizhalimi Bani Umayyah. Padahal, Bani Umayyah memiliki harta lain yang bukan termasuk harta kaum muslimin.”

Al-Manshur pun menundukkan kepada sejenak kemudian berkata lagi, “Sungguh benar apa yang dikatakannya, wahai Rabi’. Orang tua ini tidak pantas dituduh seperti itu.” Al-Manshur kemudian melanjutkan, “Apakah kamu memiliki kebutuhan?”

“Wahai Amirul Mukminin, kebutuhan saya adalah hendaknya Anda mengirimkan surat yang saya tulis kepada keluarga saya agar mereka merasa tenang dengan keselamatan saya. Karena kepergian saya yang jauh membuat mereka menjadi takut.” Jawabnya. Ia melanjutkan, “Saya juga mempunya satu kebutuhan lagi, wahai Amirul Mukminin.”

“Apa itu?”

“Hendaknya Anda mempertemukan saya dengan orang yang telah mengadukan saya kepada Anda. Demi Allah, saya tidak memegang sedikit pun dari harta Bani Umayyah. Tetapi mengingat saya berada di hadapan Anda, lalu Anda menanyakan kepada saya tentang harta itu, maka saya tahu bahwa yang dapat menyelamatkan saya dari Anda adalah jawaban yang saya berikan tadi. Karena saya tahu bahwa Anda akan bersikap adil.” Jawab lelaki itu.

Rabi’ berkata, “Ini lebih mendekatkan kepada kebebasan dan keselamatan.”

Al-Manshur kemudian berkata, “Wahai Rabi’, panggillah orang yang telah mengadukan laki-laki ini kepadaku!” Aku pun segera memanggil orang tersebut. Setelah keduanya dipertemukan ternyata mereka sudah saling kenal.

Laki-laki itu kemudian berkata, “Wahai Amirul Mukminin, orang ini adalah budak saya. Ia telah mencuri uang saya sebesar 3.000 dinar, lalu kabur. Karena takut akan dituntut, ia kemudian mengadukan saya kepada Amirul Mukminin.”

Mendengar hal itu, Al-Manshur lalu membentak dan mengancam budak tersebut. Akhirnya ia mengaku bahwa dirinya adalah budak laki-laki tersebut. Ia juga mengaku telah mencuri uang darinya sebesar tiga ribu dinar, dan setelah itu kabur. Setelah itu ia mengadukan kepadanya dengan penuh kedustaan agar bisa selamat darinya.

Mendengar pengakuan jujur sang budak, Al-Manshur berkata kepada laki-laki tua itu, “Aku harap kamu bersedia memaafkannya.”

“Saya telah memaafkannya, dan juga mengampuni kesalahannya. Bahkan saya juga membebaskannya. Mengenai uang tiga ribu dinar yang telah diambilnya, sudah saya berikan kepadanya. Bahkan, saya akan memberinya lagi uang tambahan sebesar tiga ribu dinar,” jawabnya.

Al-Manshur berkata, “Kamu tidak perlu menambahinya lagi.”

Laki-laki itu menjawab, “Ini untuk menghormati kebenaran perkataan Anda, wahai Amirul Mukminin.”

Setelah itu, laki-laki itu pergi. Al-Manshur sungguh dibuat takjub oleh sikap laki-laki itu. Maka setiap kali mengingatnya, Al-Manshur berkata kepada Rabi’, “Wahai Rabi’, sungguh aku belum pernah melihat laki-laki seperti lelaki tua itu.”

Footnote:

  1. Al-Mustajâd min Fa’lâtil Ajwâd, 102-103
  2. Al-Mustathraf, 199-200

Sumber: 155 Kisah Langka Para Salaf, penerbit Pustaka Arafah, hlm. 34-37

Comments
All comments.
Comments