Pembebasan Palestina dan Baitul Maqdis Tahun 16 Hijriyah

Setelah kota Damaskus berhasil dikuasai, Amr bin Al Ash radhiyallahu ‘anhu bersama tentaranya meninggalkan kota Damaskus, dan mulai melakukan pembebasan ke arah Palestina. Terjadi peperangan antara tentara Amr bin Al Ash dengan pasukan Romawi di bawah pimpinan Aretion. Perang tersebut adalah perang dahsyat yang akhirnya dimenangkan oleh tentara Islam. Setelah itu, Amr berhasil menguasai daerah utara Palestina[1],  lalu ia menuju ke arah Baitul Maqdis yang merupakan tempat istimewa bagi para pemeluk agama samawi, khususnya bagi kaum muslimin.  Hal itu dikarenakan Baitul Maqdis adalah kiblat pertama kaum muslimin, masjid ketiga di dunia, dan juga tempat Isra’nya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Amr bin Al Ash mulai mengepung tempat itu, dan pasukan Romawi melakukan penghadangan mati-matian di bawah pimpinan Aretion. Pasukan Romawi juga memanfaatkan manjaniq (ketapel besar) untuk memukul mundul tentara Islam, dan mereka berhasil melukai banyak tentara Islam.

Lalu Amr bin Al Ash menuliskan surat kepada Umar bin Al Khaththab untuk meminta bala bantuan. Lalu Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengeluarkan perintah kepada Abu Ubaidah bin Al Jarrah untuk memberikan bantuan kepada Amr dalam usahanya mengepung Baitul Maqdis. Abu Ubaidah bergerak maju bersama tentaranya ke arah Baitul Maqdis. Kedatangan Abu Ubaidah di Baitul Maqdis menjadi bantuan berharga dalam memperkuat tentara Islam, dan mereka berhasil menghancurkan pasukan Romawi.

Pasukan Romawi lalu mulai berpikir untuk melakukan perdamaian dan gencatan senjata, terutama ketika menyaksikan keikhlasan tentara Islam dan keadilannya di daerah-daerah yang telah dibebaskan. Uskup tertinggi Roma sendiri yang mulai menawarkan perundingan damai dengan kaum muslimin. Hal tersebut ternyata membuat jenderal perang Romawi Aretion marah, lalu dia meninggalkan Baitul Maqdis menuju Mesir. Perundingan damai pun berlangsung selama beberapa antara tentara Islam dengan Uskup dan penduduk Baitul Maqdis. Akhirnya penduduk Baitul Maqdis dan para pemimpinnya mencapai kata sepakat untuk melakukan perjanjian damai. Mereka memberikan syarat agar Umar bin Al Khaththab atas namanya sendiri menjadi jaminan dari perjanjian yang telah disepakati dan hanya kepada Umar mereka sudi melakukan perjanjian. Kemudian Abu Ubaidah dan Amr bin Al Ash mengirimkan surat kepada Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengabarkan permintaan  yang diajukan oleh penduduk Baitul Maqdis. Lalu Umar mewakilkan penguasaan kota Madinah dan menuliskan surat kepada tentara Islam di Syam, untuk berkumpul di tempat yang telah ditaklukan agar dia dapat bertemu.[2]

Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu sampai di Syam. Dia disambut oleh para gubernur kaum muslimin yang mengenakan baju sutera. Sebelum Umar mengucapkan salam kepada para pemimpin itu, dia terlebih dahulu mengambil kerikil dan melemparkannya ke arah para pemimpin kaum muslimin tersebut seraya berkata, “Cepat sekali kalian berubah menjadi orang yang rakus, kepadaku kalian menyambut dengan gaya seperti ini?” Sungguh kalian sudah kenyang semenjak dua tahun yang lalu. Demi Allah, jika kalian melakukan kebiasaan ini dihadapan dua ratus orang, aku bersumpah akan menggantikan posisi kalian dengan orang lain.” Para gubernur itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, ini ada yalamiqah (pakaian yang dihias) dan kami selalu membawa pedang (yang emreka maksud adalah; mereka menyembunyikan pedang-pedang mereka di balik baju tersebut, sehingga para musuh berbuat khianat, dimana saat sekarang adalah masa gencatan senjata. Jadi bukanlan maksud mereka untuk menampakkan kesuburan atau pun kesombongan).” Maka Umar berkata, “Iya tidak mengapa kalau begitu.”[3]

Adapun di daerah yang telah membayar pajak, maka Umar bertemu dengan tentara Islam yang keadaannya serba kekurangan. Lalu juru adzan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu melantunkan adzan. Bilal sendiri semenjak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia tidak bersedia melantunkan adzan. Oleh karena itu, tentara kaum muslimin menjadi teringat akan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga mereka semua menangis.”[4]

Umar radhiyallahu ‘anhu lalu menemui utusan dari Baitul Maqdis. Kepada utusan tersebut Umar menuliskan perjanjian yang berisi jaminan keamanan atas jiwa, harta dan gereja mereka. Perjanjian itu juga meminta agar mereka tidak dipaksa meninggalkan agamanya. Mereka juga meminta diberi kebebasan untuk memilih bergabung dengan Romawi, tentara Islam harus memberikan jaminan keamanan, hingga orang tersebut sampai ditempat yang dituju. Penduduk Baitul Maqdis juga mengajukan persyaratan agar orang-orang Yahudi tidak tinggal bersama mereka.[5]

Suasana Lebaran di Yafa Palestin

Keterangan: Suasana Lebaran di Yafa Palestina

Perjanjian ini menunjukkan bagaimana sikap toleran kaum muslimin terhadap pemeluk agama lain, dan perlindungan mereka terhadap hak-hak pemeluk agama lain.

Setelah perjanjian selesai dibuat, Umar berjalan menuju Baitul Maqdis untuk menemui penduduk dan uskupnya. Ia juga masuk ke dalam Baitul Maqdis dan menjadikannya sebagai masjid. Dan selama beberapa hari beliau melakukan shalat disana. Kemudian Umar meninggalkan Baitul Maqdis menuju daerah yang telah dibebaskan. Disana Umar memanfaatkan sisa waktu yang dia punya untuk bermusyawarah bersama tentara Islam dan para pemimpinnya tentang banyak hal, setelah itu dia kembali lagi ke Madinah.[6] Dengan ditaklukkannya Baitul Maqdis berarti tentara Islam telah mampu menaklukkan sebagian besar negeri Syam, dan menjadikan Islam sebagai kekuatan yang mendominasi daerah tersebut tanpa adanya ganguan lagi, setelah sebelumnya mereka menghadapi banyak cobaan dan peperangan.

Pada tahun 18 hijriyah, negeri Syam terserang epedemi yang dikenal sebagai tha’un amwas, sebuah nama yang diambilkan dari nama sebuah desa di Palestina. Dalam wabah ini hamper dua puluh ribu tentara kaum muslimin di Syam meninggal dunia. Di antara mereka yang meninggal adalah para pembesar shahabat, seperti Abu Ubaidah bin Al Jarrah, Muadz bin Jabal, Syarkhabil bin Hasan, Al Fadl bin Al Abbas, Yazid bin Abu Sufyan dan para shahabat-shahabat lainnya. Meskipun demikian, tentara Islam tetap mampu menjaga penguasaannya atas negeri Syam, bahkan mereka telah mulia memikirkan daerah-daerah lain untuk dibebaskan.[7]

Dikutip dari: Penaklukan Dalam Islam, DR.Abdul Aziz bin Ibrahim Al Umari, Penerbit Darussunnah

Note:

[1] Lihat: Khalifah ibn Khayyath, Tarikh Khalifah Ibn Khayyath 134, Al Baladziri, Futuh Al Buldan 144, Ath Thabari, Tarikh Ath Thabari 4/157, Ibn Al Atsir, Al Kamil 2/497.

[2] Al Baladziri, Futuh Al Buldan 144,  Ath Thabari, Tarikh Ath Thabari 4/128, Ibn Al Atsir, Al Kamil 2/500.

[3] Ath Thabari, Tarikh Ath Thabari 4/158

[4] Adz Dzahabi, Siyar A’lam An Nubala’ 1/357

[5] Al Baladziri, Futuh Al Buldan 145, Lihatlah teks perjanjian tersebut dalam kitab:  Ath Thabari, Tarikh Ath Thabari 4/159

[6] Lihat: Khalifah ibn Khayyath, Tarikh Khalifah Ibn Khayyath 135, Ibn A’tsam Al Kufi, Al Futuh 1/229, Ath Thabari, Tarikh Ath Thabari 4/161, Ibn Al Atsir, Al Kamil 2/501.

[7] Lihat: Khalifah ibn Khayyath, Tarikh Khalifah Ibn Khayyath 138, Ibn A’tsam Al Kufi, Al Futuh 1/238, Ath Thabari, Tarikh Ath Thabari 4/222, Ibn Al Atsir, Al Kamil 2/558, Adz Dzahabi, Tarikh Al Islam, Ahd Ar Rasyidin 171

Artikel: www.KisahIslam.net

Comments
All comments.
Comments