Nasehat Ali bin Abi Thalib Kepada Kumail bin Zayyad An-Nakha’i

Kumail bin Zayyad An-Nakha’i [1] berkata, bahwa Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu menggandeng  tanganku kemudian mengajakku keluar ke arah dataran tinggi. Ketika kami telah berada di tempat yang tinggi, Ali bin Abu Thalib duduk kemudian menarik nafas panjang, ia berkata, “Hai Kumail bin Zayyad..Sesungguhnya hati adalah wadah, dan hati yang paling baik ialah hati yang paling sadar. Jagalah apa yang saya katakan kepadamu.

Manusia itu terbagi ke dalam tiga kelompok; ulama Rabbani, penuntut ilmu di atas jalan keselamatan, dan orang-orang jelata pengikut semua penyeru. Kelompok terakhir miring bersama dengan hembusan angin, tidak bersinar dengan cahaya ilmu dan tidak bersandar pada tiang yang kokoh.

Ilmu lebih baik daripada harta. Ilmu menjagamu, sedang engkau menjaga harta. Ilmu berkembang biak dengan diamalkan, sedang harta berkurang dengan infak, dan mencintai ilmu adalah agama. Ilmu membuat ulama ditaati sepanjang hidupnya dan dikenang sepeninggalnya, sedang kebaikan karena harta itu hilang bersamaan dengan hilangnya harta.

Para penyimpan harta telah mati, padahal sebenarnya mereka masih hidup, sedang para ulama abadi sepanjang zaman. Diri mereka telah sirna, namun suri tauladan mereka tetap melekat di dalam hati.

Sesungguhnya di sini -sambil menunjuk ke dadanya- ada ilmu, jika aku menerimanya dengan benar. Namun, sayang sekali, aku menerimanya dengan cepat memahaminya namun tidak amanah di dalamnya, mempergunakan alat agama untuk membeli dunia, meminta diperlihatkan hujjah-hujjah Allah terhadap Kitab-Nya, nikmat- nikmat- Nya terhadap hamba-hamba-Nya, atau diberikan kepada orang-orang yang benar yang tidak mempunyai hujjah nyata di dalamnya. Sifat ragu-ragu membekas dalam hati sejak awal syubhat yang datang kepadanya, ia tidak termasuk kelompok ini dan kelompok itu. Ia tidak mengetahui di mana kebenaran berada? Jika ia berkata, ia salah. Jika ia salah, ia tidak mengetahui kesalahannya, ia hobi terhadap hal-hal yang hakikatnya tidak ia ketahui, ia menjadi fitnah bagi orang yang terkena fitnahnya. Sesungguhnya puncak kebaikan adalah orang yang dikenalkan Allah kepada agama-Nya, dan cukuplah seseorang dikatakan bodoh jika ia tidak mengenal agamanya, ia tenggelam dalam kenikmatan, gampang disetir syahwat, tergoda mencari harta dan menumpuknya, serta bukan termasuk dai-dai agama. Sesuatu yang paling mirip dengan mereka yaitu hewan ternak. Begitulah, ilmu mati dengan kematian orang-orang yang mengembannya.’

Ya Allah, betul sekali bahwa dunia tidak pernah sepi dari orang yang membela Allah dengan hujjah-hujjah-Nya, agar hujjah-hujjah Allah dan keterangan-keterangan-Nya tidak terkalahkan. Mereka jumlahnya tidak seberapa banyak, namun mereka orang-orang yang paling berat timbangannya di sisi Allah.

Dengan mereka, Allah membela hujjah-hujjah-Nya hingga mereka menunaikannya kepada orang-orang yang semisal dengan mereka, dan menanamkannya ke dalam hati orang-orang yang seperti mereka. Dengan mereka, ilmu menghadapi segala persoalan kemudian mereka menganggap enteng apa yang dianggap sulit oleh orang-orang yang hidup mewah dan tidak takut terhadap apa saja yang ditakutkan orang-orang bodoh. Mereka berada di dunia dengan badan mereka, sedang ruh mereka berada di tempat yang tinggi. Mereka adalah khalifah-khalifah Allah di bumi-Nya dan dai-dai-Nya kepada agama-Nya.

Aku ingin rindu ingin melihat mereka. Aku meminta ampunan kepada Allah untukku dan untuk-mu. Jika engkau mau, berdirilah..!” (Diriwayatkan Abu Nu’aim dalam Hilyatu Al-Auliya’ jilid I hal. 79-80).

Dikutip dari: Wasiat-wasiat Ulama Terdahulu, Syaikh Salim le-d Al-Hilali, Pustaka Azzam

Foot Note:

[1] Ia orang mulia, ditaati kaumnya, termasuk tabiin yang jujur. Ia dibunuh Hajjaj ats Tsaqafi dalam keadaan terikat pada tahun 82 Hijriyah. Secara lengkap biografi Kumai di jelaskan Fasawi dalam bukunya ‘Al Ma’rifah wa At Tarikh Jil.II hal.481.

Artikel: www.KisahIslam.net

Facebook Fans Page: Kisah Teladan & Sejarah Islam

=

Comments
All comments.
Comments