Syaikh Salafiy Yang Sensitif

Di sebuah kelas di Lipia, seorang mahasiswa bercerita di hadapan syaikh dan teman-temannya. Ini gilirannya untuk maju mengisahkan tentang kota masing-masing. Namun dia lebih memilih untuk berbicara tentang kampungnya.

“Kampung kami,”

Demikian ia mulai pembicaraan dengan bahasa arab. Maklum karena syaikh tidak paham bahasa Indonesia. Bahasa resmi di Lipia adalah bahasa Arab karena Lipia adalah kampus milik kerajaan Arab Saudi. Jadi bahasa Indonesia adalah bahasa asing dan terlarang.

“jauh dari kota. Berada di tengah pulau. Butuh sekian jam melakukan perjalanan ke kota. Di sana banyak sawah penduduk karena sebagian besar mereka bertani.”

“Sayang sekali di tempat kami tidak ada ma’had untuk pembelajaran Islam untuk anak-anak kaum muslimin di sana. Para penduduk tidak peduli dengan agama sehingga banyak tersebar syirik, bid’ah, maksiat dan pelanggaran lainnya.”

“Sedikit dari mereka yang shalat dan puasa. Kebanyakannya tidak bisa membaca al-Qur-an. Ketika hari pernikahan tiba, mereka akan membawa sesajen ke sungai, meminta bantuan kepada jin. Begitu banyak tersebar kesyirikan.”

Syaikh tiba-tiba memegang kepala dengan kedua tangannnya menandakan ekspresi kaget sambil berkata:

“Apaaaa????? Banyak syirik??”

“Iya, syaikh”

“Berapa masjid di kampungmu?

“Satu, syaikh”

“Satu? Ya Salaam”

“Adakah dai disana?”

“Tidak ada”

“Terus kamu bahasa arab belajar di mana sebelumnya?”

“Belajar di kota X pas kuliah S1 kemarin”

“Kalau saya bangun masjid di kampung kamu bagaimana? Ada lahan pas dan bagus nggak?”

“Ada. Bisa diusahakan.”

“Sekarang apa yang kamu butuhkan?”

“Kitab-kitab”

“Besok ada acara kampus di Qo-ah (ruangan masjid kampus di lantai 2 -ed). Kamu duduk dekat saya. Saya akan perkenalkan kamu dengan utusan kerajaan Arab Saudi untuk membicarakan ini. Tulis nama desa kamu, kabupaten dan provinsi. Nomor handphone kamu juga. Tolong berikan saya besok. Ingat dan jangan lupa.”

“Baik, syaikh. Insya allah. Jazaakallahu khairan”

Keesokannya, sang mahasiswa menemui syaikh di Qo-ah pada acara kampus yang dihadiri utusan kerajaan Saudi Arabia dan kedubes. Setelah acara selesai, syaikh mengajaknya menemui utusan kerajaan dan mengobrol, seperti yang dijanjikan.

***

Kami menangkap kesan sensitif di mata para ahlussunnah mendengar kata syirik. Ada semacam alergi yang mendalam. Ada sebuah ketakutan. Ada semacam ke-ngeri-an terhadap meluasnya dosa terbesar ini. Kekuatan jiwa mereka begitu kokoh ingin membentengi umat untuk menjaga kemurniaan tauhid dan tidak tersebarnya syirik.

Dan syaikh tadi mampu menghentakkan pikirannya menangkap sinyal bahwa di seberang sana, di belahan bumi nusantara, ada syirik yang mesti dikikis. Tanpa berpikir panjang beliau menawarkan untuk membangun masjid dan menghubungi utusan kerajaan.

Inilah ahlussunnah yang paham bahwa al-qur-an seutuhnya membahas tauhid. Kisah-kisah para nabi adalah kisah-kisah pembawa bendera tauhid. Bukankah Ibrahim begitu sensitive dengan keberadaan berhala-berhala kala itu?

Surga, Allah kisahkan dan gambarkan dalam al-Qur-an sebagai sebuah hadiah dan balasan bagi mereka yang menjaga kemurniaan tauhidnya yang tak tercampur syirik. Allah sebutkan neraka sebagai ancaman bagi mereka yang mendendangkan kesyirikan.

Allah paparkan ayat-ayat hukum dalam al-Qur-an sebagai konsekuensi tauhid yang mesti dilakoni. Allah utus para rasul membawa bendera tauhid untuk dikibarkan di muka bumi.

Inilah dakwak ahlussunah yang menjadikan dakwah tauhid sebagai salah satu prinsip absolute yang baku dan tak akan pernah berubah. Dakwah yang berkah adalah dakwah yang menjadikan tauhid sebagai salah satu prioritas.

Masih ingat tentang acara Khazanah?

Rekan-rekan salafi tidak membela sosok yang ada di balik Khazanah namun mereka membela dan mendukung salah satu prinsip absolut ahlussunnah yaitu penjagaan keberlangsungan tauhid dan berkurangnya syirik. Mereka tidak membela tokoh-tokoh tertentu karena memang tidak ada fanatik terhadap tokoh.

Jika teriakan sebuah organisasi dakwah begitu menggema terhadap tokoh namun membisu terhadap hak Allah yang terdzalimi berarti diam-diam dalam jiwa kita ada virus ta’asshub. Hak Allah lebih didahulukan dibanding hak manusia.

Rekan-rekan salafi lebih mendengungkan tauhid dan pemberantasan syirik, salah satunya. Tidak hanya dengung tapi memaparkan dengan begitu gamblang melalui kajian lisan maupun tulisan termasuk di dunia maya.

Dari tauhid, kita akan tahu siapa yang mendengungkan khilafah, pemilu yang sekedar mencari pengikut, atau atau atau pembelaan fanatik terhadap tokoh manapun. Kita akan tahu pula kelompok mana yang kerasukan jin, mana yang menjadi syaitan bisu dan mana yang menjadi syaitan penggonggong.

Maka aswaja yang mengaku ahlussunnah harus membuktikan diri terhadap pengakuannya sebagai ahlussunah yaitu tampil sebagai sosok atau sekelompok individu-individu yang menyuarakan tauhid dan berkomitmen menyebarkan risalah tauhid, bukan dengan menyebarkan bid’ah apalagi menjerumus kepada kekufuran di kuburan-kuburan.

Begitu pula dengan pergerakan yang berusaha tampil meng-islami-kan demokrasi dan mengaku bagian dari ahlussunnah mesti memiliki kekuatan jiwa untuk berani menyuarakan tauhid di medan dakwahnya, dan tidak menyembunyikan gema-gema tauhid jika tidak ingin dikatakan syaithan yang bisu lagi ompong.
__

Semoga Allah menjadikan keberkahan pada dakwah yang menjadikan tauhid sebagai salah satu pondasinya dan mengembalikan “mereka” ke pangkuan ahlussunnah.

Dikutip dari tulisan Fachrian Almer Akiera , Asrama Lipia Jakarta.

Dipublikasikan kembali oleh: www.KisahIslam.net

Facebook Fans Page: Kisah Teladan & Sejarah Islam

Comments
All comments.
Comments