Aku Wanita Yang Di Poligami

Aku menikah muda. Kala itu, usiaku tak lebih dari 19 tahun dan baru saja lulus SMU. Wanita yang kuperisteri saat itu bahkan baru 16 tahun. Ia hanya lulus SLTP, karena keluarganya pun seperti keluargaku, miskin, tak punya cukup biaya untuk menyekolahkan anaknya lebih tinggi.

Namaku Arman, dan isteriku Salimah. Kami tinggal di sebuah dusun, yang termasuk wilayah sebuah desa kecil, di sisi barat Jawa.

Di desa kami, usia seperti kami bukanlah usia muda untuk menikah, minimal untuk ukuran pada masa itu. Pada zaman sekarang, ukuran itu memang sudah mengalami dinamika. Makin sedikit saja pasangan muda yang menikah. Berbanding lurus dengan makin banyak pula wanita-wanita yang telat menikah. Meski jumlahnya tak sebanyak di kota-kota besar.

Kami menjalani pernikahan dengan segala suka duka yang kami alami. Latar belakang kami dari keluarga yang cukup religious, meski tradisional. Dalam arti, kami masih terbiasa hidup dalam nuansa yang menggabungkan nilai-nilai religi Islam, dengan adat tradisional. Orang Sumatra menyebut kami dari kalangan kaum tua.

Aku kurang begitu mengerti soal itu. Meski setelah beberapa tahun menikah, aku mulai sedikit mendalami agama melalui beberapa orang ustadz, di musholla dekat rumah. Lewat mereka, aku mulai dikenalkan dengan upaya banyak ulama untuk menjernihkan agama dari pengaruh bid’ah dan khurofat. Aku sangat memahami paparan-paparan mereka. Tapi, tentu sulit bagi keluarga kami, untuk meninggalkan berbagai tradisi nenek moyang yang sudah lama kami jalankan. Meski kami tahu, sebagian diantaranya berbau kemusyrikan. Wal ‘iyyaadzu billah.

Kedua orang tuaku, yang kebetulan rumahnya bersebelahan dengan kami di desa yang sama, juga mengikuti perkembangan tersebut. Mereka juga sepertiku, sulit meninggalkan tradisi lama kami. Tapi, minimal aku mengerti, bahwa mereka tidak lagi apatis terhadap pemahaman-pemahaman seperti yang disampaikan oleh para ustadz secara bergiliran, di musholla kami itu. Meski kecil, tapi cukup membanggakan, karena setidaknya ada 2 taklim dalam sepekan.

Selain dua majelis itu, kadang beberapa ustadz senior di desa kami yang berpemahaman kaum tua, juga ikut mengisi. Wajarlah, bila akhirnya sering terjadi perbedaan pendapat dikalangan jama’ah yang hadir. Pro dan kontra.

Aku tidak akan berbicara banyak soal itu. Aku hanya ingin menceritakan kepada pembaca, tentang perjalanan hidup rumah tangga kami.

***
Tak terasa, sudah 10 tahun kami berumah tangga. Umurku kini menginjak 30 tahun, sementara isteriku 26 tahun. Kami sudah dianugerahi 3 orang anak. Yang sulung sudah 9 tahun.

Selama satu dasawarsa tersebut, di antara kami sudah terjalin saling pengertian yang cukup manis. Setidaknya, begitulah dalam pandangan kami. Mengingat banyak teman yang menikah direntang usia mirip dengan kami, tapi rumah tangganya terbilang kacau balau. Sering mengalami percekcokan yang nyaris tak berujung. Bahkan tak sedikit yang akhirnya bercerai, hanya setelah 3 atau 4 tahun menikah.

Kegamangan pertama rumah tangga kami, terjadi beberapa bulan lalu, saat hampir masuk tahun kesebelas pernikahan. Ibunda Salimah, yang sangat dicintai dan mencintai isteriku meninggal dunia. Usianya baru 48 tahun. Beliau wafat karena penyakit paru-paru yang tak kunjung sembuh. Dan kami memang tak punya cukup uang untuk melakukan perobatan secara rutin dan memadai. Meski bagaimanapun, semua itu sudah taqdir, dan kami tabah menerimanya.

Walau begitu, isteriku tetap dilanda kesedihan sedemikian rupa. Meski tak menimbulkan prahara dalam rumah tangga, tapi sontak ia berubah menjadi pendiam. Di antara 6 bersaudara yang (kesemuanya sudah menikah dan punya anak), ia memang yang paling disayang sang ibu. Karena sangat disayang itulah, isteriku menjadi anak yang paling terpukul oleh meninggalnya beliau, berbeda dengan saudara lainnya, yang meskipun bersedih, namun tak terlihat mengalami kegoncangan berarti.

Kesedihan bertambah, saat aku diberhentikan dari perusahaanku. Di situ, aku memang hanya bekerja sebagai satpam. Tanpa aku tahu sebabnya, ada pengurangan jumlah tenaga sekuriti, dan aku termasuk yang di-PHK. Alasan mereka, sebagian besar satpam yang ada adalah veteran tentara. Mereka lebih membutuhkan pekerjaan itu dibanding diriku.

Yah, apa mau dikata. Aku menjadi satpam memang hanya bermodal sabuk hitam karate yang kumiliki. Ijazah relative tak dibutuhkan untuk pekerjaan itu. Akhirnya, aku menganggur beberapa bulan. Namun, Alhamdulillah, aku kembali diterima sebagai sekuriti di perusahaan lain yang lebih kecil, dengan gaji yang tentunya juga lebih sedikit. Tapi aku menerimanya dengan senang hati.

Kedukaan, ditambah dengan kondisi perekonomian keluarga yang semakin surut, membuat rumah tangga kami mengalami masa-masa kritis. Keramahtamahan dan keakraban kami mulai berkurang. Meski, kami bukan tipikal suami-isteri yang senang bertengkar. Nyaris tak pernah terjadi percekcokan di antara kami, kecuali dengan hanya ‘marah-marahan’ kecil saja.

Saat itu, aku semakin rajin mengikuti taklim pekanan, terutama hari selasa malam. Isteriku juga ikut serta, bersama banyak warga kampung yang memenuhi musholla kecil itu.

Kajian malam itu membahas tentang keluarga sakinah. Suatu saat, pembahasan menyentuh soal poligami. Aku dan isteriku, cukup terperanjat. Baru saat itu, kami memahami bahwa poligami dalam Islam ternyata begitu kompleks pembahasannya. Selama ini aku hanya mengetahui bahwa pria muslim diperbolehkan melakukan poligami, dengan syarat mampu berlaku adil. Ternyata, hukum poligami juga beragam, tergantung pada situasi, kondisi (baik pribadi maupun orang lain yang ikut terlibat dalam praktik poligami tersebut), dan banyak hal lainnya.

Di situ, Ustadz MZ juga menjelaskan bahwa banyak orang yang melakukan poligami, tanpa mengikuti aturan, adab, dan etika berpoligami yang ada dalam Islam, sehingga justru menimbulkan citra buruk di masyarakat. Aku terperangah. Ya, tak sedikit kenyataan seperti itu, yang juga aku saksikan pada banyak pelaku poligami.

Padahal, secara umum poligami itu dibenarkan syari’at, meski hukum asalnya adalah mubah dengan syarat. Jadi diperbolehkan saja, tak sampai dianjurkan. Namun bisa berbeda-beda hukumnya, tergantung bagi siapa dan dalam kondisi bagaimana.

Syaikh Muhammad Sholeh Al-Utsaimin menjelaskan,
“Poligami disunnahkan bagi orang yang mampu melakukannya dan bertujuan untuk menjaga kemaluannya serta pandangan matanya dari maksiat, selain juga untuk memperbanyak keturunan dan untuk memotivasi masyarakat Islam agar melakukan perbuatan serupa (dengan tujuan-tujuan yang sama), sehingga mereka tidak perlu lagi melakukan perbuatan yang diharamkan oleh Alloh. Mereka bisa menggunakan poligami untuk memperbanyak generasi Islam dan memperbanyak orang-orang yang beribadah kepada Alloh di muka bumi, atau untuk tujuan-tujuan baik lainnya.

Dalilnya adalah firman Alloh (artinya),
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita alim yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” {QS. An-Nisaa’:3}

Demikian juga firman Alloh (artinya),
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rosululloh itu suri teladan..” {QS. Al-Ahzaab: 21}

Rosululloh shollallohu ‘alayhi wa’alaa aalihi wasallam sendiri memiliki beberapa orang isteri, dan beliau selalu bersikap adil di antara mereka. Beliau pernah berkata,
“Yaa Alloh, inilah yang bisa kulakukan, maka janganlah Engkau mencelaku karena sesuatu yang tidak mampu kulakukan.” Dikeluarkan oleh Ashhaabus Sunan dengan sanad yang shohih. Maksudnya, bahwa sikap adil itu wajib sebatas yang mampu dilakukan oleh manusia, seperti memberi nafkah, mengatur giliran bermalam dan sejenisnya. Adapun cinta kasih dan ‘hubungan seks’, bukanlah sesuatu yang berada dalam kemampuan manusia untuk menciptakannya.

Sesampainya di rumah, aku dan isteriku mendiskusikan kembali soal poligami tersebut. Aneh, isteriku juga menanggapinya tidak dengan dingin, bahkan seringkali ditimpali canda tawa. Biasanya, umumnya wanita tak tertarik membahas poligami. Karena biasanya juga, ketika membayangkan suaminya akan memadu dirinya, sudut pandangnya pada poligami otomatis jadi tidak jelas, cenderung berbaur sinisme. Bahkan ada yang sontak memarahi suaminya, hanya karena secara tak sengaja menyinggung-nyinggung topik poligami. Meski belum terbersit keinginan untuk melakukannya!

Hingga larut malam, kami sibuk membahas soal-soal poligami, yang bagi kami menarik, dan banyak hal yang tak kami ketahui sebelumnya tentang topik ini.

“Kalau aku dipoligami, gimana ya?” tiba-tiba isteriku berkata begitu. Aku terperangah.

Aku sendiri, tak pernah berpikir soal poligami. Apalagi, kondisi perekonomian kami yang seperti ini, membuatku tahu diri untuk sekedar memampirkan topik poligami ke dalam benakku.

“Wah, memangnya kamu mau?”

“Gak tahu ya. Aku hanya membayangkan, kalau aku hidup bersama suami dan maduku , gimana ya?” Ia mengatakan itu, sambil tersenyum lebar. Aku jadi ikut geli melihatnya.

Lewat tengah malam, pembicaraan kami terhenti. Dan setelah itu (aneh sekali) hubungan kami menjadi cair lagi. Seolah-olah kedukaan yang merambati hati isteriku dalam beberapa bulan ini, pupus sama sekali. Hari-hari selanjutnya, kembali kami lalui dengan suasana bahagia. Betapa sejuk dada ini.

*****

2 bulan setelah itu, ada hal yang mengejutkan buat kami. Isteriku, didatangi tamu seorang wanita berusia 34 tahun. Berarti empat tahun lebih tua dariku, dan 8 tahun lebih tua dari isteriku.

Ia juga sudah beberapa bulan mengikuti pengajian di musholla kami. Ia berasal dari desa sebelah, hanya 1 kilometer dari rumah kami. Isteriku juga sudah sering berjumpa dengannya di pengajian. Ia datang dengan hijab sempurna (setidaknya menurut ukuranku). Ukuran jilbabnya lebih lebar dari jilbab isteriku.

Selama hampir dua jam, ia berada di kamar bersama isteriku. Mereka terlibat obrolan panjang, yang kadang diselingi dengan tawa ringan. Terlihat betul keakraban mereka. Padahal setahuku mereka belum lama saling mengenal. Bahkan ini pertama kalinya wanita itu dating ke rumahku. Isteriku sendiri, meskipun supel, tapi tak pernah begitu mudah mudah menjadi akrab dan berbicara begitu lepas seperti saat ini.

Di luar, di ruang tamu, aku duduk sendirian sambil membaca buku. Tak lama, wanita itu keluar. Ia menghadap ke arahku yang berada di pojok ruangan, di atas kursi, dengan membentuk kedua tangan bersalaman dari jauh.

“Saya pamit pulang dulu, Mas Arman…” Ujarnya lembut.
“O ya, ya, silahkan…”

Sepulang wanita tersebut, isteriku berhambur ke ruang tamu. Ada senyum tersungging di wajahnya.
“Kenapa, kok senyum-senyum gitu. Menang arisan ya?”

“Enggak, kok mas. Lagi senang aja…”

“Senang kenapa?”

“Mas, kamu sayang sama aku gak?”

“Loh, kok pake nanya kayak gitu. Ya sayang dong.”

“Begini. Tapi janji, mas jangan marah ya?”

“Ada apa dulu?”

“Pokoknya janji dulu, gak marah, baru aku ngomong.”

“Oke, aku janji.”

“Begini, mas. Menyambung obrolan kita malam itu…”

Hatiku tiba-tiba merasa aneh.

“Sepertinya, aku mau mewujudkan apa yang aku bilang waktu itu…”

“Maksudmu?”

“Bagaimana, kalau mas menikahi mbak Ratna yang tadi bertamu ke sini?”

Dadaku kini berdegup.

“Dia masih gadis dan perawan, Mas. Sampai sekarang belum menikah. Wajahnya lumayan cantik kan, Mas, gak kalah denganku? Aku mau, Mas menikahinya untukku…”

“Maksudmu..”

“Ya. Aku mau, Mas berpoligami. Tapi bukan dengan wanita lain, dengan mbak Ratna itu. Aku merasa cocok dengannya, Mas. Aku juga ingin membantunya, kasihan dia gak nikah-nikah seusia itu. Padahal, yang mau sama dia banyak. Tapi, tadi dia bilang, dia mau kalau yang menikahinya adalah Mas…”

Mataku berkunang-kunang. Perasaanku campur aduk. Aku kehilangan kata untuk menjawab tawaran isteriku yang begitu tiba-tiba, dan sama sekali tak pernah terpikir olehku.

“Jangan khawatir, Aku rela kok, dia menjadi maduku, Mas.”

“Kenapa dia mau aku nikahi?” Kini aku balik bertanya.

“Gak tahu juga, Mas. Tapi yang jelas, saat melihatmu keluar bersamaku dari pengajian, dia kok merasa tertarik ingin menjadi isteri Mas. Makanya, ia memberanikan diri berbicara denganku tadi…”

“Tapi, aku belum pantas berpoligami, Dek…”

“Justru karena Mas berpendapat begitu, aku malah bersuka hati menawari Mas untuk berpoligami. Kalau Mas begitu getol ingin kawin lagi, aku malah jadi khawatir..”

Wah, aneh. Tak terpikir sedikitpun, kalau aku akan terjebak dalam suasana begini. Isteri yang kucintai, dan selalu hidup bersamaku dalam susah dan senang, tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba memintaku untuk berpoligami.

“Tapi, lihat saja, ekonomi kita sedang begini. Dalam kondisi baik saja, kita hidup miskin dan kekurangan. Bagaimana mungkin aku beristeri lebih dari satu? Kamu ini aneh, Dek..”

“Ah, soal itu gak perlu khawatir, Mas. Kami tadi sudah mengobrolkan. Kebetulan, mbak Ratna ini juga lumayan berkecukupan. Ia sudah memiliki rumah sendiri, sudah punya mobil meskipun sederhana, Ia juga punya mini market loh…”

Isteriku berbicara panjang lebar soal Ratna, dan aku hanya mendengarkan dengan patuh. Aku tak bisa berkata-kata. Sulit menjabarkan suasana hatiku saat itu. Karena yang berbicara adalah isteriku. Kalau orang lain, mungkin aku tak ambil peduli sama sekali.

“Kalau mau menikahinya, Mas diminta untuk mengelola mini market miliknya, untuk sumber penghasilan bersama…”

“Tapi jangan salah sangka, Mas. Aku mau Mas menikahinya, bukan karena dia kaya. Tapi aku justru ingin menolongnya. Kasihan, sudah usia 34 tahun, tapi ia belum juga menikah. Tapi, karena kondisinya demikian, bagiku akan lebih mudah merealisasikannya…”

Sampai di situ, aku masih terbungkam. Ketika isteriku menanyakan pendapatku, aku hanya bilang, agar ia menunggu hingga esok hari, karena aku betul-betul kebingungan. Bukan aku tak tertarik dengan Ratna. Apalagi, bila menikahinya justru atas permintaan isteri sendiri. Tapi, aku memang betul-betul blank saat itu.

Semalaman aku tak bisa memejamkan mata. Jam tiga dini hari, aku bangkit dari pembaringan, dan melakukan sholat malam. Aku berdo’a, memohon pilihan kepada Alloh. Satu malam itu, aku tak tidur sama sekali.

Pagi harinya, aku mengajak isteriku ke rumah orang tuaku, dan juga menemui bapak isteriku. Kepada mereka, aku menceritakan permintaan isteriku itu. Tanpa diduga sama sekali, mereka semua setuju. Akhirnya, dengan ringan hati, aku pun menerima tawaran isteriku tersebut…

*****
Aku pun kini beristeri dua. Aku berpoligami, di saat aku betul-betul tak menginginkannya, bahkan tak pernah memikirkan sebelumnya. Setelah menikahi Ratna, aku baru tahu bahwa ternyata keberadaan isteri keduaku itu menjadi obat buat isteriku, atas kematian ibundanya. Satu hal yang tak pernah kubayangkan pula sebelumnya.

Bagi isteriku, Ratna bisa menjadi teman mengobrol, kawan curhat, dan berbagi kasih, seperti yang biasa ia lakukan bersama ibunya. Ratna bisa menjadi pengganti ibunya, dalam dimensi yang sama sekali berbeda tentunya, namun memberikan suntikan rasa yang sama: senang dan bahagia.

Semenjak kami berpoligami, kehidupan rumah tangga kami justru semakin semarak, meriah, dan penuh keceriaan. Isteriku sekarang bahkan terlihat jauh lebih berbahagia, ketimbang saat-saat kami masih hidup berdua, sebelum ibunya wafat. Sering kami berpergian bersama, mengunjungi karib kerabat dari pihakku, pihak Salimah, atau pihak Ratna.

Aku tak lagi bekerja sebagai satpam. Aku sibuk mengurus bisnis keluarga yang Alhamdulillah berjalan dengan baik. Aku tak tahu, apa lagi yang bisa aku ungkapkan kepada pembaca sekalian. Yang jelas, aku tak bisa menyarankan siapapun untuk mengambil langkah, seperti yang aku lakukan. Karena bisa jadi, kondisi kita tak sama, atau bahkan jauh berbeda. Tapi yang jelas, POLIGAMI telah menjadi salah satu sumber kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangga kami. Terserah, anda setuju atau tidak….

Sumber: Diketik ulang oleh al Akh Abu Abdillah Huda dari dari buku “Aku Wanita Yang Dipoligami”, Al-Ustadz Abu ‘Umar Basyir.

Comments
All comments.
Comments
Leave a Reply to eny
Cancel Reply

  1. Steward says:

    Pemikiran bodoh, dari wanita2 bodoh

    1. admin kisah islam says:

      dan pemikiran barat yang lebih bagus?
      malah itulah yang bodoh, mereka lebih menyukai perzinahan daripada pernikahan

      1. Awee says:

        Poligami diatas lebih baik dan indah daripada perselingkuhan dan perzinaan gaya barat!

    2. abu ubayd says:

      pemikiran jahil, dari Steward2 jahil… Allahu yahdika…

    3. Obip says:

      Belum tentu yang menilai bodoh itu lebih pintar, bisa jadi sebaliknya, Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu….

  2. abu raudah says:

    Pemikiran cerdas, dari wanita2 cerdas

  3. anto says:

    adakah yang lebih mulia dari hidup diatas al qur’an dan assunah……smg kita senantiasa berada dalam petunjukNya

  4. Lala says:

    Allohu Akbar. Indahnya…like it

    1. man says:

      LALA ,,,,,,

  5. Pedang says:

    @Steward: You mikir pake kepala atas dong! Jangan pake “kepala” bawah!

    1. Obip says:

      Smoga Allah Memberi Hidayah kepada kita… Amiiin

  6. Obip says:

    Baarakallahu fiih… Semoga Allah Memberkahi hamba-hambanya yang mengambil langkah (keputusan) untuk berjalan di atas jalan yang benar demi kebaikan agamanya.

  7. Susanti says:

    jika istri dengan senang hati menerima poligami maka tidak masalah, selama tidak menimbulkan mudharat bagi orang lain
    “secara umum poligami itu dibenarkan syari’at, meski hukum asalnya adalah mubah dengan syarat. Jadi diperbolehkan saja, tak sampai dianjurkan. Namun bisa berbeda-beda hukumnya, tergantung bagi siapa dan dalam kondisi bagaimana”

  8. Susanti says:

    tulisan yg cukup bijak

  9. masyaAlloh… indahnya…
    ada ya, cerita yang seperti ini ^_*
    baarokallohu fiikum

  10. polo says:

    Asslmkm…wrwb

    Gak salahh??

    Siapa bilang poligami hanya akan berdampak kemungkinan cemburu, marah, iri, sakit hati pada para istri? Coba pikiir lagi dampak psikologi, ekonomi, kasih sayang, krisis percaya diri, bahkan dendam (terutama pada Ayah) pada anak2 yg akan dihasilkan kelak…jangan egoiss…

    Poligami memang tercantum dalam Alqur’an dan Hadist, dicontohkan juga oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabat

    Tapi…ROSUL JUGA MEMBERI CONTOH MELARANG POLIGAMI, ketika melarang Fatimah RA dipoligami saat Ali Bin Abi Tholib hendak menikah lagi, mungkin beliau tahu walaupun sesuai syariat, poligami bisa membuat wanita tersakiti, sehingga beliau tidak rela putrinya dipoligami. Wallohua’lam
    Dan……

    Berdasarkan sensus penduduk 2000 dan 2010 ternyata justru JUMLAH PRIA DI INDONESIA LEBIH BANYAK DARI WANITANYA.

    “laki2 jaman sekarang biasanya mati2an menentang atau berusaha menutup2i fakta ini dengan berbagai alasan dan dalih”

    Begitu juga dengan data negara2 di dunia (CIA, Bank Dunia, PBB, dll) ternyata jumlah pria juga lebih banyak dari wanitanya (terutama untuk China, India, dan negara-negara Arab)

    Yup jumlah wanita memang sangat melimpah tapi di usia di atas 65 tahun, mauu?? hehe….kalo ngebet, silakan poligami dengan golongan wanita usia ini.

    Cek di data resmi BPS dan masing2 pemda atau coba klik di:

    http://sosbud.kompasiana.com/2013/05/16/makan-tuhh-poligami-vs-fakta-demografi-560923.html

    http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=40¬ab=1

    http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=263&wid=0

    http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=12&notab=4

    http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=321
    http://www.datastatistik-indonesia.com/portal/index.php?option=com_content&task=view&id=211&Itemid=211&limit=1&limitstart=2

    http://statistik.ptkpt.net/_a.php?_a=penduduk_ratio&info1=4
    Kira2 apa ya solusi dari kelebihan pria ini?
    masih tetap POLIGAMI? Hanya akan semakin “merampas” kesempatan bujangan pria lain untuk dapat menikah

    perkiraan dan kepercayaan selama ini “turun temurun” yang selalu jadi senjata bagi pria yang ngebet ingin berpoligami bahwa jumlah wanita jauh berlipat lipat di atas pria ternyata SALAH BESAR

    Hasil Sensus Penduduk 2010 berdasar jenis kelamin perpropinsi
    Kode, Provinsi, Laki-laki, Perempuan, Total Penduduk
    1 Aceh, 2 248 952, 2 245 458, 4 494 410
    2 Sumatera Utara, 6 483 354, 6 498 850, 12 982 204
    3 Sumatera Barat, 2 404 377, 2 442 532, 4 846 909
    4 Riau, 2 853 168, 2 685 199, 5 538 367
    5 Jambi, 1 581 110, 1 511 155, 3 092 265
    6 Sumatera Selatan, 3 792 647, 3 657 747, 7 450 394
    7 Bengkulu, 877 159, 838 359, 1 715 518
    8 Lampung, 3 916 622, 3 691 783, 7 608 405
    9 Bangka Belitung , 635 094, 588 202, 1 223 296
    10 Kepulauan Riau, 862 144, 817 019, 1 679 163
    11 DKI Jakarta, 4 870 938, 4 736 849, 9 607 787
    12 Jawa Barat, 21 907 040, 21 146 692, 43 053 732
    13 Jawa Tengah, 16 091 112, 16 291 545, 32 382 657
    14 DI Yogyakarta, 1 708 910, 1 748 581, 3 457 491
    15 Jawa Timur, 18 503 516, 18 973 241, 37 476 757
    16 Banten, 5 439 148, 5 193 018, 10 632 166
    17 Bali, 1 961 348, 1 929 409, 3 890 757
    18 Nusa Tenggara Barat, 2 183 646, 2 316 566, 4 500 212
    19 Nusa Tenggara Timur, 2 326 487, 2 357 340, 4 683 827
    20 Kalimantan Barat, 2 246 903, 2 149 080, 4 395 983
    21 Kalimantan Tengah, 1 153 743, 1 058 346, 2 212 089
    22 Kalimantan Selatan, 1 836 210, 1 790 406, 3 626 616
    23 Kalimantan Timur, 1 871 690, 1 681 453, 3 553 143
    24 Sulawesi Utara, 1 159 903, 1 110 693, 2 270 596
    25 Sulawesi Tengah, 1 350 844, 1 284 165, 2 635 009
    26 Sulawesi Selatan, 3 924 431, 4 110 345, 8 034 776
    27 Sulawesi Tenggara, 1 121 826, 1 110 760, 2 232 586
    28 Gorontalo, 521 914, 518 250, 1 040 164
    29 Sulawesi Barat, 581 526, 577 125, 1 158 651
    30 Maluku, 775 477, 758 029, 1 533 506
    31 Maluku Utara, 531 393, 506 694, 1 038 087
    32 Papua Barat, 402 398, 358 024, 760 422
    33 Papua, 1 505 883, 1 327 498, 2 833 381
    TOTAL, 119 630 913, 118 010 413, 237 641 326
    Sex Ratio Indonesia (menurut BPS) beginilah data yang saya dapat:
    – Tahun 1971 = 97.18 pria : 100 wanita
    – Tahun 1980 = 99.82 pria : 100 wanita
    – Tahun 1990 = 99.45 pria : 100 wanita
    – Tahun 1995 = 99.09 pria : 100 wanita
    – Tahun 2000 = 100.6 pria : 100 wanita
    – Tahun 2010 = 101,01 pria : 100 wanita
    Bisa dilihat, ternyata tren sex ratio semakin meningkat, dalam arti dari tahun ke tahun jumlah pria semakin melebihi wanita

    Poligami?????

    1. Susanti says:

      ulasan yg bagus juga 🙂

      1. man says:

        MENCARI MUSLIMAH UNTUK DI POLIGAMI

        1. Susanti says:

          silahkan cari istri ke-2, 3 dan 4 jika anda mampu menafkahi, melindungi, membahagiakan semua istri, mendidik anak dan lain2, jangan sampai terjadi perceraian atau lebih banyak pertengkaran 😀

  11. man says:

    ass alaikm saya seorang ihwan ingin poligami mohon infonya mengingat lingkngan pergaulan di kota kami yag udah rusak

  12. Ustatdz says:

    Aneh kisah begini di pubish…dalam cerita ini di ambil kesimpulan,ada unsur matre si pria dan kemungkinan di campur kebohongan sedikit dalam cerita ini,si pria disini mau menceritakan tentang dirinya bukan tentang hakekat poigami..artinya berbangga bangga dengan dirinya. tidak ada pelajaran dalam kisahmu sobat..cerita tidak berfaidah.

    1. Abu Malik says:

      وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
      Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan. (QS: Adh-Dhuhaa Ayat: 11)

    2. muhammad arifin says:

      Ustadzah kenapa?

  13. dechan says:

    Semoga selalu yg terindah yg menyertai…..

  14. yudi says:

    ane mau poligami.. mau nambah istri ke 2, 3 dan 4.. klo ada wanita yang mau karena ibadah bisa hubungi ane..

  15. muhammad arifin says:

    Gitu aja kok repot

  16. feri abu fahd says:

    بارك الله فيكم

  17. putri says:

    Apapun yg menjadi pilihan,benar atw salah tetap harus dpertanggung jawabkan dhadapan Allah,jd tdk perlu membenarkan atw menyalahkan,ambil saja sisi positifnya yg bermanfaat…wass

  18. abu hanan says:

    MasyaAlloh..barakallohu fiik
    Sungguh istri yg sholihah…alangkah beruntungy mas arman
    Poligami adalah syariat yg mulia..jgn hiraukan celaan manusia…Alloh yg mmbuat syariat ini..Dia maha tau mana yg baik utk hamba2 Nya

  19. Bunga Kurnia says:

    Logisnya, wanita manapun pastinya gak pengen diduakan dari lubuk hati terdalamnya apalagi kalau benar2 sayang. Bayangkan jika laki2 juga diduakan oleh perempuan. Kita sama2 manusia lho.
    Pacaran aja banyak yang tidak terima diduakan apalagi menikah dalam konteks komitmen?
    Saya sebagai wanita, jika saya sangat mencintai seorang pria apalagi dia adalah suami saya sendiri, manusiawi jika ada perasaan cemburu. Jika Tuhan saja dapat cemburu jika kita menyembah tuhan selain Dia, apalagi kita manusia?

  20. eny says:

    Matre…. gpp asalkan saling ridho aja jadi ekonomi teratasi. batin juga tersalurkan jadi ini saling namanya.
    Beda bila materi tidak dapat batin pun tertekan

    seperti istri pertama harus menghidupi suami dan istri ke dua…
    kalau ini kan suami kerja di toko istri ke dua dan istri pertama dapat nafkah yang lebih dari sebelumnya.
    Istri kedua juga tercukupi ekonominya..

    kalau seperti ini saya juga ridho jadi istri pertama.
    saya yakin kalau masalah yang mereka hadapi akan di kasih jalan keluar oleh Alloh lebih dari yang di bayangkan … yakin seyakin yakinnya..

    istri pertama kenapa bahagia karena ada solusi di permasalahan yang dia hadapi
    istri kedua kenapa menerima… karena dia cocok denganistri pertama dan suka sama suaminya. dan dia dapat duduk manmis tidak repot sendiri urus bisnisnya..

    kalau saya jadi istri keduanya juga mau bila cocok dengan istri pertama nya

    saya sarankan bila mau menikah lagi atau poligami agar kenalkan dulu ke istri pertama agar mereka buat komitmen … kalau perlu di tulis tandantangani di atas materai laminating pajang di kamar masing masing.

    agar saling menjaga bukan menyakiti satu sama lain

  21. eny says:

    ku malah ingin buat panti janda
    yang mau poligami bawa sepaket mau dua janda…
    atau tiga janda…sudah terlatih iman dan ketakwaannya.

    bukan hanya yayasan tkw
    panti jompo.