Biografi Ulama Tabi’in: Masruq bin Al-Ajda’ [Bagian 03]

6. Guru dan Murid-muridnya

Guru-Gurunya: Al-Mizzi berkata, “Masruq meriwayatkan dari beberapa orang yang di antaranya; Ubay bin Ka’ab, Khabab bin Al-Art, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar bin Al-Khathab, Abdullah bin Amr bin Al-Ash, Abdullah bin Mas’ud, Ubaid bin Umair Al-Laitsi, Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Al-Khathab, Mu’adz bin Jabal, Ma’qil bin Sinan Al-Asyja’i, Al­-Mughirah bin Syu’bah, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Subai’ah Al-Aslamiyah, sayyidah Aisyah Isteri Rasulullah dan ibunya Ummu Ruman, dan Ummu Salamah Isteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.[1]

Murid-muridnya: Al-Mizzi berkata, “Ada beberapa orang yang meriwayatkan hadits dari Masruq antara lain; Ibrahim An-Nakh’i, Anas bin Sirin, Ayyub bin Hani’, Jabal bin Rufaidah, Abu Wail Syaqiq bin Salamah, ‘Amir Asy-Sya’bi, Abdullah bin Murrah Al-Khariqi, Abdurrahman bin Abdullah bin Mas’ud, Ubaid bin Nadhlah, Ammarah bin Umair, Al-Qasim bin Al-Muntasyir bin Al-Ajda’, Muhammad bin An-Nasyr Al-Hamdani, Abu Adh-Dhuha Salam bin Shabih, Makhul bin Asy-Syami, Yahya bin Al-Jazzar, Yahya bin Watstsab, Abu Al-Ahwash Al-Jusyami, Abu Ishaq As-Subai’i, Abu Asy-Sya’tsa’ Al-Muharibi dan isterinya Umair binti Amr.”[2]

7. Perkataan dan Perilakunya

Diriwayatkan dari Muslim, dari Masruq, ia berkata, “Cukuplah seseorang tahu maksud dari rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan, seseorang akan menjadi bodoh, jika dia merasa bangga dengan apa yang telah diperbuatnya.”[3]

Masruq berkata, “Hendaknya seseorang mempunyai tempat yang sunyi, sehingga dapat digunakannya untuk merenungi diri, merenungi dosa-dosanya dan meminta ampunan kepada Allah. [4]

Dari Abu Adh-Dhuha, dia berkata, “Pernah Masruq memberikan suatu pertolongan kepada seseorang, kemudian datang seorang wanita memberikan hadiah kepadanya, sehingga Masruq sangat marah dan berkata, “Kalaulah aku tahu bahwa sifat seperti itu terdapat dalam dirimu, niscaya aku tidak mau berbicara denganmu untuk selamanya, selama hal itu masih ada dalam dirimu. Aku pernah mendengar Abdullah bin Masud berkata,

“Barangsiapa memberikan suatu pertolongan kepada seseorang untuk dapat mengembalikan haknya atau menghindarkannya dari suatu kezhaliman Yang menimpanya, kemudian dia menerima hadiah dari orang itu, maka perbuatan itu adalah suatu kebinasaan.”

Mendengar itu, orang-orang di sekitarnya berkata, “Kami tidak menganggap kebinasaan kecuali jika dia bertujuan menyuap.” Masruq menimpali, “Jika berniat menyuap, maka itu adalah suatu kekufuran.”[5]

Dari Asy-Sya’bi, dia berkata, “Pernah Masruq berkata, “Sesungguhnya ketika aku memutuskan perkara dalam suatu pengadilan yang sesuai dengan kebenaran atau aku mendapatkan kebenaran (dalam berijtihad) adalah lebih aku cintai daripada berjuang (perang) selama satu tahun di jalan Allah.” [6]

Dari Ibrahim bin Muhammad bin Al-Muntasyir dari Masruq, dia berkata, “Tidaklah ada yang lebih baik bagi seorang mukmin dari kuburan yang dapat dijadikannya tempat beristirahat dari kebisingan dunia dan di dalamnya dia aman dari siksa Allah.”[7]

Dari Muslim atau yang lain dari Masruq, dia berkata, “Sesungguhnya prasangka baik yang paling aku sukai adalah ketika seorang pelayan berkata kepadaku, “Dalam rumahnya tidak terdapat uang maupun makanan sedikitpun.”[8]

Dari Hilal bin Yasaf, dia berkata, “Rahasia dia dapat menguasai ilmu­-ilmu para pendahulunya; ulama salaf dan kontemporer, juga ilmu-ilmu keduniaan dan ilmu akhirat adalah membaca surat Al-Waqi’ah.”

Adz-Dzahabi berkata, “Perkataan Masruq ini memang terkesan dibesar­besarkan, karena memang besarnya manfaat atau kandungan yang ada dalam surat tersebut yang meliputi masalah dunia dan akhirat sekaligus.

Adapun maksud dari perkataannya, “Membaca surat Al-Waqi’ah,” adalah membacanya dengan merenungi ayat-ayat dan memikirkan tanda-­tanda keagungan dan kebesaran Allah dengan merasakan seolah-olah Dia hadir di hadapannya, sehingga dia tidak seperti sebuah perumpamaan yang disebutkan dalam Al-Qur’an, “Seekor keledai yang terseok-seok membawa banyak kitab (tanpa bisa membacanya atau memahami maksud yang dikandungnya).”[8]

8. Meninggalnya

Dari Syaqiq, dia berkata, “Masruq pernah dirantai selama dua tahun. Selama itu dia habiskan untuk melakukan shalat dua rakaat-dua rakaat dengan maksud mendapatkan pahala sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [9]

Dari Al-A’masy dari Syaqiq, dia berkata, “Aku pernah berkata kepada Masruq, “Apa yang menyebabkanmu diperlakukan seperti ini?” Dia menjawab, “Ada tiga yang menyebabkanku seperti ini, yaitu: Ziyad, Syuraih dan setan hingga akhirnya mereka menjadikanku seperti ini.”[10]

Dari Abu Wail, dia berkata, “Bahwasanya ketika menjelang kematiannya, Masruq berkata, “Ya Allah, aku tidak ingin meninggal dunia dengan tidak mengikuti petunjuk Rasulullah tidak pula Abu Bakar dan Umar bin Al­Khathab Radhiyallahu Anhuma. Demi Allah, aku tidak meninggalkan sesuatu pun kepada seseorang kecuali sesuatu yang melekat pada pedangku ini, maka masukkanlah ia dalam kafanku ini nanti.”[11]

Sufyan bin Uyainah berkata, “Masruq meninggal dunia pada tahun 63 Hijriyah. Dia adalah seorang perawi yang dapat dipercaya dan mempunyai banyak hadits Shahih.”[12]

Abu Nu’aim berkata, “Masruq meninggal dunia pada tahun 62 Hijriyah.”

Yahya bin Bakir dan Ibnu Sa’ad berkata, “Dia meninggal pada tahun 63 Hijriyah.”[13]

 

Foot Note:

[1] Tandzib Al-Kamal, karya Al-Mizzi hlm. 27 & 452 -53.

[2] Ibid. 27453.

[3] Thabaqat Ibnu Sa’ad 6/80.

[4] Ibid

[5] Thabaqat Ibnu Sa’ad 6/81.

[6] Ibid. 6/82.

[7] Hilyah Al-Auliya’ 2/97

[8] lbid. 2/97

[9] Siyar A’lam An-Nubala’ 4/68.

[10] Thabaqat Ibnu Sa’ad 6/83.

[11] Ibid.

[12] Ibid. 6/84

[13] Hil yah AI-Auliya’ 2/68.

Sumber: Biografi 60 Ulama Salaf, Syaikh Ahmad Farid

Artikel: www.KisahIslam.net

Comments
All comments.
Comments