Seorang Gadis Mengajak Saudara Perempuannya Berpegang Teguh pada Agama Allah

Gadis ini berkata, “Aku murid Tsanawiyah, tinggal di Uni Emirat Arab yang punya kebanggaan tersendiri bagiku. Di negara inilah Allah tunjukkan hidayah-Nya kepadaku. Sejak kedatanganku ke daerah ini, aku sudah sangat lekat dengan “guru yang terhormat,” televisi. Aku tidak bisa meninggalkannya walau sesaat. Aku tidak bisa tidak menyaksikan acara sinetron, program anak, lagu­-lagu, maupun drama. Tetapi, untuk program keagamaan dan pendidikan, aku segera mematikannya. Saudara perempuanku bertanya, ‘Mengapa engkau lakukan itu?’ Pertanyaan itu kujawab enteng karena banyak tugas sekolah dan pekerjaan rumah. Saudaraku bilang, ‘Sekarang engkau baru ingat kewajiban? Lalu, ke mana saja engkau ketika sedang menyaksikan sinetron, lagu-­lagu, dan program yang tiada bermakna itu?’

Saudaraku ini berbeda jauh denganku. Sejak ibu mengajarinya shalat, ia tidak pernah meninggalkannya, kecuali ketika udzur atau berhalangan. Sementara itu, aku tidak rajin shalat, bahkan seminggu bisa terbilang hanya satu dua kali. Saudaraku sebisa mungkin menghindari televisi. la banyak berteman dengan orang-orang saleh yang menuntunnya berbuat kebaikan.

Saudaraku selalu mengingatkanku pada Allah. la senantiasa menasihatiku, tetapi aku semakin congkak dan bandel. Bahkan, semakin hari aku semakin lengket dengan televisi. Televisi memang tampak indah menyajikan pro­gram sinetron, film, dan lagu-lagu yang tiada bermakna. Aku baru tahu dampak buruknya setelah mendapatkan hidayah Allah Subhanahu wa Ta’ala, segala puji dan syukur bagi-Nya. Kutonton semua itu, padahal di lubuk hatiku yang paling dalam aku meyakini keharamannya. Pun bahwa jalan hidayah tampak jelas bagi siapa pun yang hendak menitinya. jiwaku acap kali mencelaku, dan nuraniku seringkali menyiksaku. Apalagi persoalannya bukan sebatas melakukan maksiat, tetapi sampai meninggalkan kewajiban. Karena itu, aku selalu meng­hindari duduk seorang diri. Bahkan, ketika harus tidur dan beristirahat, aku masih menyibukkan diri dengan buku atau majalah. Aku tidak biarkan jiwaku dicela dan hatiku merana. Lima tahun sudah kujalani kehidupan seperti ini. Sampai suatu ketika, Allah tunjukkan kepadaku jalan hidayah-Nya.

Saat itu, kami sedang menikmati liburan tengah tahun. Saudaraku bermaksud mengikuti Pelatihan Tahfizhul Qur’an (menghapal Al-Qur’an) di sebuah perguruan tinggi Islam. Ia menawariku pergi bersamanya. lbuku mengiyakan, tetapi aku menolak keras. Dengan berang kukatakan padanya, ‘Tidak mau!’ Aku bersikeras untuk tetap nonton televisi yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupanku yang sia-sia. Aku tidak pernah membayangkan hadir di acara Pelatihan Tahfizhul Qur’an.

Ketika ayah datang, kuadukan kepadanya apa yang tengah terjadi. Ia bilang, ‘Biarkanlah, jangan paksa dia pergi. Biarkan ia tenang.’ Bagi ayah, aku punya kebang­gaan tersendiri. Sebab, aku anak pertengahan. Aku punya kakak, juga adik yang usianya jauh di bawahku. Ayah berkata demikian karena mengira aku memelihara shalatku, padahal kenyataannya tidak seperti yang ia kira. Aku tidak berbohong ketika ayahku bertanya, ‘Apakah engkau sudah shalat?’ kujawab, ‘Ya.’ Aku shalat ketika ayah ada. Tetapi jika sudah pergi bekerja, aku meninggalkannya. Untuk urusan kerja, ayah biasa tidak pulang selama tiga sampai empat hari.

Suatu ketika, ayah memintaku menemani saudara perempuanku walau sekali saja. Jika keadaannya menarik hati, aku boleh meneruskan. Tetapi jika tidak, itulah kesempatan pertama dan terakhir bagiku. Aku pun mengiyakan, karena aku mencintai ayah dan tidak bisa menolak keinginannya. Aku pun berangkat ke Raudhatul Qur’an (Taman Al-Qur’an). Di sana kulihat wajah-wajah berseri yang memancarkan cahaya keimanan, juga mata yang sembab tak kuasa melihat perkara haram seperti yang biasa kulakukan. Aku merasakan sesuatu yang sulit kulukiskan; rasa bahagia dan cemas bercampur penyesalan dan taubat. Tiba-tiba aku merasa begitu dekat dengan Allah. Hatiku terenyuh, dan air mataku me­linangkan penyesalan atas waktu yang telah kusia-siakan untuk sesuatu yang tidak diridhai Allah Subhanahu waTa’ala, baik di depan televisi maupun di tempat bermain bersama teman-teman yang tidak baik. Betapa seringnya kusia-siakan majlis yang bertatahkan cahaya dan dilingkupi para malaikat, serta dibaluri kedamaian dan kasih sayang. Juga yang bisa membuatku mereguk nikmat Allah yang belum pernah kunikmati sebelumnya. Aku hidup di taman Al-Qur’an yang mendamaikan jiwa, menenangkan hati, dan melenakan nurani.

Akhirnya, aku yakin betul kalau di dunia ini tidak akan ada kebaikan, manusia tidak akan mendapatkan ke­tenangan, ketinggian, dan kesucian, kecuali dengan kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ternyata hidup di bawah naungan Al-Qur’an terasa menye­nangkan. Sebuah nikmat yang tidak diketahui selain orang yang pernah merasakannya. Nikmat yang bisa meng­angkat, memberkati, dan menyucikan usia. Ya, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberiku hidayah meskipun aku telah berulang kali melakukan maksiat kepada-Nya. Singkat kata, aku lalai, dan Al-Qur’an menyadarkanku.

“Sesungguhnya AI-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar. ” (Al-Isra’: 9)

Hari ini, aku bertanya-tanya, ‘Bagaimana aku meng­hadap Tuhan sekiranya Dia tidak memberikan hidayah kepadaku?’ Jujur, aku merasa malu pada diriku sendiri, terlebih kepada Tuhanku.

Tuhanku, aku bertaubat kepada-Mu dan meminta ampunan-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Menerima taubat dan Maha Penyayang.

Saudaraku, halaqah Al-Qur’an senantiasa menung­gumu. Jangan pernah ragu untuk bergabung dengannya, karena Allah menjaga dan melindungimu.” [Al-Aidun Ilallah, hlm. 63]

Sumber: Buku ”Kisah Orang-Orang Shaleh Dalam Mendidik Anak, Pustaka al Kautsar

Comments
All comments.
Comments