Awal Masa Kehidupan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Beliau disusui oleh Tsuwaibah[1], maula Abu Lahab, selama bebarapa hari.[2] Kemudian, disusui oleh Halimah binti Abu Du-aib `Abdullah bin al-Harits as-Sa’diyyah. Diriwayatkan dari Halimah bahwa ia mengatakan, “Be­liau tumbuh dalam sehari, sebagaimana anak tumbuh dalam sebulan.“[3]

Beliau tumbuh sebagai anak yatim, lalu beliau di­asuh oleh kakeknya, ‘Abdul Muththalib, kemudian oleh pamannya, Abu Thalib.

Allah mensucikannya dari kotoran jahiliyah, sehing­ga beliau tidak pernah mengagungkan berhala mereka sepanjang usianya sama sekali. Beliau juga tidak pernah menghadiri salah satu acara kekafiran mereka. Mereka meminta beliau untuk menghadirinya, namun beliau menolaknya dan Allah melindungi beliau darinya.

Dalam hadits dari ‘Ali bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: “Aku tidak pernah menyembah berhala sekalipun, dan tidak pernah minum khamr sekalipun. Aku senantiasa mengetahui bahwa apa yang mereka lakukan adalah kufur.”[4]

Ini merupakan penjagaan Allah kepada beliau, yaitu membebaskannya dari kotoran jahiliyah dan dari semua aib, serta menganugerahkan kepadanya akhlak yang ba­gus; sehingga beliau dikenal di tengah kaumnya sebagai al-Amiin (orang yang terpercaya), karena mereka melihat amanah, kejujuran dan kesuciannya.

Ketika usianya mencapai 12 tahun, beliau pergi berdua sama pamannya ke Syam hingga sampai di Bushra. [5] Saat Buhaira ar-Rahib melihatnya, ternyata ia mengenali sifatnya, maka ia datang dan memegang tangannya seraya berkata, “Ini adalah pemimpin semesta alam. Ini adalah utusan Rabb semesta alam. Anak ini akan Allah utus se­bagai hujjah bagi alam semesta.” Mereka bertanya, “Dari mana engkau mengetahui ini?” Ia menjawab, “Ketika kalian datang dari ‘Aqabah, tidak ada satu pohon atau batu pun melainkan bersungkur dalam keadaan bersu­jud. Mereka tidak bersujud (memberikan penghormatan) kecuali kepada seorang Nabi, dan kami mendapatinya dalam kitab-kitab kami.” Ia pun meminta Abu Thalib agar membawanya pulang karena khawatir terhadap apa yang akan dilakukan kaum Yahudi (bila mereka mengetahuinya), maka Abu Thalib pun membawanya pulang.’

Kemudian beliau pergi untuk kedua kalinya ke Syam bersama Maisarah, budak Khadijah, untuk mem bawa dagangannya sebelum menikahinya, hingga sam­pai di pasar Bushra.[7]

Ketika usianya mencapai 25 tahun, beliau menikah dengan Khadijah. [8]

Ketika Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi berhijrah ke Madinah, beliau pergi berhijrah ditemani Abu Bakar ash-Shiddiq dan maula Abu Bakar: `Amir bin Fuhairah, sedangkan yang menjadi penunjuk jalan mereka adalah `Abdullah bin al-Uraiqith al-Laitsi. Ia kafir, dan tidak diketahui tentang keislamannya. [9]

Foot Note:

[1] Tsuwaibah meninggal pada tahun tujuh hijrah, dan diperselisih­kan tentang masuk Islamnya.

[2] Diriwayatkan al-Bukhari (5101, 5106, 5107, 5123, 5372), Mus­lim (1449), Abu Dawud (2056), dan an-Nasa-i (VI/96).

[3] Adz-Dzahabi, dalam as-Siirah dari Taariikhul Islaam (hal. 46), membawakan sebuah atsar yang panjang dari Halimah as-Sa’diyyah, yang di dalamnya ia mengatakan, “Nabi tumbuh dalam seharinya, sebagaimana anak yang lain tumbuh dalam sebulan.” Kemudian, ia mengatakan, “Hadits ini bagus sanadnya.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar menisbatkan hadits ini kepada Abu Ya’la dan Shahiih Ibni Hibban, sebagaimana dalam al-Ishaabah (XII/200). Hanya saja al-`Allamah al-Abani menilai dhaif atsar ini, sebagaimana disebutkan dalam Difa’ and Hadiitsin Nabawi (hal. 38). Di antara cacat hadits itu, ialah terputus sanadnya, karena dalam atsar ini, ‘Abdullah bin Ja’far tidak menegaskan bahwa dirinya telah mendengar langsung dari Halimah. Dalam sanadnya juga terdapat Jahm bin Jahm, yang menurut adz-Dza­habi dalam Miizaanul I’tidaal (I/426), tidak dikenal.

Ibnu Katsir mengatakan -tentang penyusuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,oleh Halimah as-Sa’diyyah-, “Kami meriwayatkan hal itu dengan sanad shahih, dan beliau tinggal dengannya di rumah Bani Sa’d selama empat tahun. Apa pun keadaannya, maka sesungguh­nya penyusuan Rasulullah di lingkungan Bani Sa’d, oleh Halimah as-Sa’diyyah adalah benar dan nyata berdasarkan ber­bagai bukti yang bukan di sini tempat penguraiannya. Seandai­nya tidak ada indikasi ke arah itu, kecuali hanya berdasarkan kemasyhuran riwayatnya dan tersebarnya berita itu, niscaya hal itu sudah cukup.” Lihat al-Bidaayah wan Nihaayah (II/333­340).

[4] As-Suyuthi, dalam Khasaa-ish al-Kubra (I/150), menisbatkan­nya kepada Abu Nu’aim, dan menisbatkannya juga kepada ash-Shalihi, sebagaimana disebutkan dalam Subulul Huda (II/ 201). As-Suyuthi juga menisbatkannya kepada Ibnu Asakir.

[5] Bushra adalah kota di sebelah barat daya Suria (Mu’jamul Bul­daan (I/441).

[6] Ini adalah salah satu dari berbagai riwayat yang mengisahkan tentang Buhaira ar-Rahib dan kisahnya bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Riwayat ini disebutkan dalam at-Tirmidzi (3620), dan dikeluar­kan al-Hakim dalam al-Mustadrak (II/615-617). Al-Hakim me­ngatakan, “Hadits ini shahih sesuai syarat al-Bukhari dan Muslim, tapi keduanya tidak meriwayatkannya.” Namun, adz-Dzahabi mengatakan, “Saya menduganya maudhu’ dan sebagiannya ba­til.” Ia mengatakan dalam as-Siirah dari Taariikhul Islaam (hal. 57), “Hadits ini mungkar sekali.” Al-Hafizh Ibnu Katsir me­nilainya gharib, sebagaimana dalam al-Bidaayah wan Nihaayah (II/348). Karena menyebutkan Abu Bakar dan Bilal di sebagian riwayatnya. Sementara adz-Dzahabi, dalam as-Siirah (hal. 36), mengatakan, “Para perawinya semuanya tsiqah.” Ibnul Qay­yim mengatakan dalam az-Zaad (I/76), “Poin ini merupakan ke­salahan yang jelas.” Ibnu Hajar mengatakan, “Para perawinya tsiqah. Tidak ada yang dipermasalahankan kecuali penyebutan Abu Bakar dan Bilal, dan ini adalah lafazh yang mungkar dan keraguan dari salah seorang perawi.” Lihat al-Isaabah, tentang biografi Buhaira. Sementara muhaddits Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berpendapat untuk menshahihkan hadits ini, sebagaimana dalam Shahiih at-Tirmidzi (III/191) dan al Misykaah (5918) dan ia mengatakan, “Akan tetapi penyebutan Bilal di dalamnya adalah mungkar.”

[7] Al-Hafizh adz-Dzahabi mengatakan dalam as-Siirah dari Taa­rikhul Islaam (hal. 64), “Kisah perginya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk berdagang diriwayatkan oleh al-Mahamili dari ‘Abdullah bin Syabib, dan ia adalah perawi yang lemah.”

[8] Lihat Fat-hul Baari (VII/133).

Khadijah adalah Ummul Qasim binti Khuwailid bin Asad bin ‘Abdul `Uzza bin Qushay, dan di sinilah nasabnya bertemu bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia adalah ibu dari anak-anak beliau orang yang pertama beriman kepadanya dan membenarkannya se­belum ada seorang pun yang beriman kepadanya. Pembelaan­nya terbukti, dan ia adalah “pendamping yang setia”. Sifat dan akhlak baiknya banyak, dan ia termasuk orang yang sempurna dari kalangan wanita. Ia berakal, mulia, taat beragama, sangat memelihara diri, pemurah, dan salah seorang ahli Surga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyanjungnya, mengutamakannya, dan sangat memulia­kannya sehingga membuat Aisyah cemburu, padahal Khadijah sudah meninggal. Di antara kemuliaannya bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau tidak pernah menikah sebelum dan setelah menikahinya semasa hayatnya. Hingga ketika ia meninggal, maka beliau sa­ngat bersedih atas kehilangannya karena ia adalah sebaik-baik pendamping. Sebelumnya, Khadijah pernah menikah dengan Abu Halah bin Zararah at-Tamimi. Setelah itu, dinikahi oleh `Athiq bin ‘Abid bin ‘Abdillah bin Makhzum. Setelah ia dinikahi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, saat itu usianya 40 tahun, menurut riwayat yang masyhur. Ia hidup bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamselama 25 tahun, di mana la meninggal tiga tahun sebelum hijrah, yakni sepuluh tahun setelah diangkat sebagai Nabi. (Al-Fat-h, VII/134, dan as-Siyar, 11/109).

[9] Mengenai peristiwa hijrah dan Abu Bakar menjadi teman Ra­sulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hijrah, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

`Jikalau kamu tidak menolongnya (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Makkah) mengeluarkannya (dari Makkah) sedang dia salah seseorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya, Janganlah berduka cita, sesungguhnya Allah bersama kita.’ Maka Allah menurunkan ketenangan kepada (Nabi ‘Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. ” (QS. At-Taubah: 40)

Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahiihnya (3905) menge­nai cerita ‘Aisyah tentang hijrah dan kepergian ayahnya ber­sama beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.Di dalamnya disebutkan tentang Amir bin Furaihah dan bahwa ia datang dengan membawa kambing-kambing pada malam hari kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sahabatnya, Abu Bakar, saat keduanya di gua, agar keduanya memerah susunya. Sebelum fajar, ia membawa kambing-kambingnya pulang, sehingga tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. Di dalamnya juga disebutkan tentang ‘Abdullah bin Uraiqith, penunjuk jalan mereka.

‘Abdul Ghani al-Maqdisi (wafat 600 H) menegaskan dalam bukunya, as Siirah (hal.23) bahwa tidak diketahui  tentang keislaman Ibnu Uraiqith. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam al-Ishaabah (VI/5), “Saya tidak melihat ada orang menyebutkannya dalam kategori Sahabat, kecuali adz-Dzahabi dalam at-Tajriid.”

Bersambung insyaallah..

Sumber: Buku “Ringkasan Kehidupan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam”, Imam an Nawawi, Ta’liq & Takhrij: Khalid bin Abdurrahman bin Hamd Asy-Syayi, Pustaka Ibnu Umar, Cet.1

Artikel: www.kisahislam.net

Facebook: Kisah Teladan & Sejarah Islam

Silahkan di Share, Copas, Tag, Dll Dengan Tetap Menyertakan Sumbernya

=

Comments
All comments.
Comments