Perasaan Para Shahabat Pada Saat Wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Dari Salim bin ‘Ubaid radhiyallahu ‘anhu berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah pingsan ketika sakit. Setelah siuman beliau bertanya: ‘Apakah waktu shalat telah tiba?’ Para Sahabat menjawab:’Ya.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:’Perintahkan kepada Bilal agar dia mengumandangkan adzan, dan perintahkan kepada Abu Bakar agar ia mengimami shalat’, -atau beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:’Agar ia menjadi imam shalat bagi kaum Muslimin.’”

Salim bin ‘Ubaid melanjutkan:”Kemudian beliau kembali pingsan. Setelah siuman lagi, beliau bertanya: ’Apakah waktu shalat telah tiba?’ Para Sahabat menjawab:’Ya.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:’Perintahkan kepada Bilal agar dia mengumandangkan adzan, dan perintahkan kepada Abu Bakar agar ia mengimami shalat.’ ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:’Sesungguhnya ayahku adalah seorang ’Asiif [1].  Apabila ia melakukan apa yang engkau perintahkan itu, niscaya ia akan menangis dan tidak bisa melanjutkannya. Seandainay engkau perintahkan kepada yang lainnya (tentu hal itu lebih baik)?’”

Salim bin ‘Ubaid melanjutkan:” Kemudian beliau pingsan lagi. Setelah siuman, beliau bersabda:’Perintahkan kepada Bilal agar dia mengumandangkan adzan, dan perintahkan kepada Abu Bakar agar ia mengimami shalat. Sesungguhnya kalian (para wanita) sperti kaum wanita Nabi Yusuf!” [2]

Salim bin ’Ubaid melanjutkan:’Lalu Bilal radhiyallahu ‘anhu diperintahkan untuk adzan dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu diperintahkan untuk mengimami shalat kaum Muslimin. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merasakan kondisinya agak membaik. Beliau bersabda: ’Carilah orang yang akan memapahku’ Maka datanglah Burairah radhiyallahu ‘anhu dan dan seorang laki-laki lainnya [3]. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dipapah oleh keduanya menuju masjid. Ketika Abu Bakar melihatnya, ia pun mundur ke belakang agar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dapat menempati posisinya. Akan tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengisyaratkan kepadanya agar ia tetap di tempatnya hingga Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menyelesaikan shalatnya.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun wafat. ‘Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu berkata:”Demi Allah jika aku mendengar seseorang mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat, maka aku akan membunuhnya dengan pedangku ini.”

Salim bin ’Ubaid meneruskan:”Semua orang yang ada ketika itu adalah orang yang tidak dapat membaca (umi). Belum pernah ada Nabi yang diutus kepada mereka sebelumnya. Orang-orang pun tidak ada yang berani mengomentari perihal wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka berkata:’Wahai Salim! Pergi dan temuilah salah seorang Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu panggilah ia.’ Aku pun bergegas menemui Abu Bakar yang saat itu berada di masjid. Aku menemuinya sambil menangis. Dan ketika Abu Bakar melihatku, ia bertanya:’Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat?’ Aku menjawab:’Sesungguhnya ‘Umar mengatakan:’Tidaklah aku mendengar seseorang mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat, melainkan aku akan membunuhnya dengan pedangku ini!’ Lalu Abu Bakar berkata:’Bergegaslah engkau’.

Kemudian aku bergegas pergi bersamanya, ketika Abu Bakar datang, orang-orang telah lebih dahulu masuk dan melihat jasad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata:”Wahai orang-orang berikan jalan untukku!’ Mereka lalu memberikan jalan untukknya sehingga Abu Bakar langsung memeluk dan menyentuh jasad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, seraya mengucapkan:

“Sesungguhnya kamu akan mati dan mereka akan mati (pula).” (QS.Az-Zumar: 30)

Kemudian para Sahabat bertanya:’Wahai Sahabat Rasulullah, apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat?’ Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menjawab:’Ya’. Dan, mereka percaya bahwa Abu Bakar  telah berkata benar.

Kemudian mereka kembali bertanya: ’Wahai Sahabat Rasulullah, apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan dishalati?’ Ia menjawab:’Ya’. Mereka bertanya lagi:’Bagaimana?’ Abu Bakar menjawab:’Sekelompok orang masuk, lalu bertakbir, membaca shalawat, dan mendoakannya. Setelah itu hendaknya mereka keluar. Lalu kelompok lainnya masuk, kemudian bertakbir, membaca shalawat, dan mendoakannya. Kemudian mereka keluar….,”sampai semua orang ikut menshalatkannya.

Mereka bertanya lagi:”Wahai Sahabat Rasulullah, apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan dimakamkan? Ia menjawab:’Ya’. Mereka bertanya:’Di mana?’ Abu Bakar: ’Di mana Allah mencabut arwahnya, karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mencabut arwahnya melainkan di tempat yang baik.’Dan mereka pun mengetahui bahwa Abu Bakar telah berkata benar.

Kemudian Abu Bakar memerintahkan agar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dimandikan oleh anak-anak dari pihak bapak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam..[4] [5]

Apaka yang membuat ‘Umar rmengancam dengan pedangnya seraya berkata:”Demi Allah, jika aku mendengar seseorang mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat, maka aku akan membunuhnya dengan pedangku ini!!?”

Sungguh, kematian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan perihal yang sangat besar bagi dirinya.

Sesungguhnya kedudukan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam begitu tinggi di hatinya.

Ia benar-benar mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melebihi cintanya terhadap drinya sendiri, anaknya, iatrinya, hartanya, dan manusia seluruhnya.

Lalalu, bagaimana kirainya perasaan Sahabat yang mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat?

Sungguh, seluruh Sahabat belum pernah mempunyai seorang Nabi sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengajarkan kepada mereka apa yang seharusnya mereka lakukan. Karena ietulah mereka menahan diri untuk bicara.

Adapun Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, ia memeluk dan menyentuh jenazah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seraya membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Sesungguhnya kamu akan mati dan mereka akan mati (pula).” (QS.Az-Zumar: 30)

Ini menunjukkan pemahaman Abu Bakar terhadap al-Qur-an. Ia memahami dari ayat ini bahwa kematian adalah perkara yang pasti akan dialami oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Namun, situasi yang begitu genting serta besarnya kecintaan para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lah yang membuat mereka bersikap berbeda dari semestinay, dan ini bukan merupakan sesuatu yang mengherankan. Sebab, sosok yang pergi meninggalkan mereka adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam!!!

Berapa banyak manusia ditinggal pergi oleh anak-anaknya, lalu mereka pingsan, bahkan di antara mereka ada pula yang menyusul kematian anaknya tersebut. Di antara mereka ada pula yang sampai kehilangan akalnya, bahkan ada pula yang terkena penyakit berbahaya.

Kemudian para Sahabat bertanya:’Wahai Sahabat Rasulullah, apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat?’ Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menjawab:’Ya’. Dan, mereka percaya bahwa Abu Bakar telah berkata benar.

Ketika itulah para Sahabat merasa tenang dan menyadari bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

“Pada hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memasuki kota Madinah, segala sesuatu di kota tersebut menjadi begitu terang. Tetapi, pada hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, segala sesuatu di kota tersebut menjadi begitu gelap. Belum lagi kami selesai menguburkan beliau, kami telah mengingkari apa yang ada dalam hati kami.” [HR. Imam Ibnu Majah rahimahullah, Shahih Sunan Ibnu Majah no.1327]

Pada hari itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memasuki Madinah; segala sesuatu di kota tersebut menjadi begitu terang dan Madinah pun bersinar.

Madinah menerangi dan menyinari segalanya dengan datangnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kegembiraan memenuhi setiap hati anak kecil dan orang dewasa, laki-laki maupun perempuan.

Maka, pada hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat. Pada hari mereka kehilangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam segala sesuatu menjadi gelap.

Bumi pun berubah, dan ia bukan lagi bumi yangh mereka ketahui selama ini.

Segala sesuatu di kota tersebut menjadi begitu gelap. Tidak ada lagi kenikmatan ataupun keindahan yang dapat mereka rasakan di hari tersebut, dan hati mereka pun terasa sempit.

“Belum lagi kami selesai menguburkan beliau, kami telah mengingkari apa yang ada dalam hati kami.”

Ya, Belum lagi mereka selesai membersihkan tangan dan menguburkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka telah mengingkari hati mereka.

Hati bagaimanakah yang mereka kenal selama ini?

Mereka mengingkari hati mereka karena lembutnya perasaan dan emosional mereka.

Namun, apa yang kita lakukan dengan hati kita yang tidak pernah mengingkari hal tersebut dan mata kita tidak pernah melihat sesuatu apapun di balik itu semua?!

Barang siapa yang hina, maka sebuah penghinaan akan terasa ringan baginya….

Dan luka tidak akan pernah membuat mayat merasakan sakit…..

Foot Note:

[1] yaitu mudah menangis dan merasa sedih. Adapula yang berpendapat lembut hatinya (mudah tersentuh)

[2] Maksudnya mereka sperti kaum wanita Nabi Yusuf dalam hal tidak menampakkan secara lahiriyah apa yang sebenarnya ada pada hati mereka, lihat Fa-thul Bari. ‘Aisyah  mengatakan demikian supaya orang-orang tidak memberikan penilaian negatif terhadap ayahnya radhiyallahu ‘anhu. Makna ini tertera dalam Shahiihul Bukhari dan Muslim

[3] Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan mengenai riwayat yang ada dalam kitab ash-Shahihaiin:”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar (dipapah) di antara al-‘Abbas dan seorang laki-laki lain,” yaitu ‘Ali bin Abu Thalib. Pendapat lainnya mengatakan bahwa ia adalah al-‘Abbas bersama anaknya al-Fadhl. Pemahaman terhadap riwayat-riwayat tersebut dapat diselaraskan dengan mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar rumah beberapa kali.

[4] Dalam kitab asy-Syamaa-il, syaikh al-Albani menyatakan:”Yakni anak-anak dari pihak bapaknya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dimandikan oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, sedangkan al-Fadhl bin ‘Abbas, Usamah, dan Syaqran (mantan budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) yang mengambilkan airnya untuk ‘Ali radhiyallahu ‘anhu.

[5] HR.at-Tirmidzi dalam kitab asy-Syamaa-il, Ibnu Majah dalam kitab “ash-Shalaah”, Bab “Shalaatu Rasuulillaah fii Maradhihi, dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir. Sebagian redaksi riwayat tersebut terdapat dalam Shahiihul Bukhari (no.664) dan sebagian redaksinya juga diriwayatkan oleh an-Nasa-i dalam kitab Mukhtasharusy Syamaa-il (no.333)

Sumber : Musibah Terbesar Ummat Islam, Syaikh Husain bin ‘Audah al-’Awisyah, Pustaka Imam Syafi’i, Cet.I, Hal.21-32. Artikel: http://alqiyamah.wordpress.com

Dipublikasikan kembali oleh: www.KisahIslam.net

Fanspage: Kisah Teladan & Sejarah Islam

=

Comments
All comments.
Comments