Kisah Tabi’in: Salim bin Abdullah bin Umar bin Khaththab (Bag.02)

Anak Umar bin Khathab banyak, akan tetapi  yang paling mirip dengannya adalah Abdullah. Abdullah bin Umar juga mmeiliki banyak anak, bahkan lebih banyak daripada anak ayahnya, dan yang paling mirip dengan Abdullah adalah Salim.

Mari kita lanjutkan kisah kehidupan Salim bin Abdullah, cucu Al-Faruq, Umar bin Khathab, yang serupa dengan kakeknya dalam perwujudan fisik, akhlak, agama dan kewibawaannya.

Salim bertempat tinggal di kota Thaibah Madinah Al-Munawarah. Ketika itu kota tersebut dalam kondisi makmur dan kaya raya. Rizki dan kenikmatan melimpah ruah dan belum pernah disaksikan yang seperti itu sebelumnya. Rezeki datang dari segala penjuru, para khalifah Bani Umayah membanjirinya dengan kekayaan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Namun hal itu tidaklah membuat Salim terpikat dengan harta seperti yang lain, dan tidak pula menggandrungi keindahan-keindahan yang sementara dan fana. Sebaliknya dia senantiasa berzuhud atas apa yang ada di tangan manusia demi mengharapkan apa yang ada di sisi Allah. Beliau berpaling dari hal-hal yang fana untuk menggapai kenikmatan yang abadi.

Tak terhitung seringnya khalifah Bani Umayah ingin memberikan hadiah berbagai kenikmatan bagi beliau dan bagi yang lainnya, namun beliau tetap berpegang pada kezuhudannya, tidak tamak terhadap apa yang ada di tangan orang lain dan memandang rendah dunia beserta isinya.

Tahun itu, khalifah Sulaiman berkunjung ke Makkah untuk berhaji. Pada saat melakukan thawaf, beliau melihat Salim bin Abdullah bersimpuh di hadapan Ka’bah denga khusyu’. Sementara air matanya meleleh di kedua pipinya. Seakan ada lautan air mata di balik kedua matanya.

Usai thawaf dan shalat dua raka’at, khalifah berusaha menghampiri Salim. Orang-orang memberinya tempat, sehingga dia bisa duduk bersimpuh hingga menyentuh kaki Salim. Namun Salim tidak menghiraukannya karena asyik dengan bacaan dan dzikirnya.

Diam-diam khalifah memperhatikan Salim sambil menunggu beliau berhenti sejenak dari bacaan dan tangisnya. Ketika ada peluang, khalifah segera menyapa,

Khalifah, “Assalamu’alaika warahmatullah wahai Abu Umar.”

Salim, “Wa’alaikum salam warahmatullah wabarakatuh.”

Khalifah, “Katakanlah apa yang menjadi kebutuhan Anda wahai Abu Umar, saya aka memenuhinya.”

Salim tidak mengatakan apa-apa sehingga khalifah menyangka dia tidak mendengar kata-katanya. Sambil merapat, khalifah mengulangi permintaannya, “Saya ingin Anda mengatakan kebutuhan Anda agar saya bisa memenuhinya.”

Salim, “Demi Allah, aku malu mengatakannya. Bagaimana mungkin, aku sedang berada di rumah-Nya, tetapi meminta kepada selain Dia?”

Khalifah terdiam malu, tapi dia tak beranjak dari tempat duduknya. Ketika shalat usai, Salim bangkit hendak pulang. Orang-orang memburunya untuk bertanya tentang hadits, dan ada yang meminta fatwa tentang urusan agama, dan adapula yang meminta untuk dido’akan. Khalifah Sulaiman termasuk di antara kerumunan itu. Begitu mengetahui hal tersebut, orang-0rang menepi untuk memberinya jalan. Khalifah akhirnaya bisa mendekati Salim, lalu berkata,

Khalifah, “Sekarang kita sudah berada di luar masjid, maka katakanlah kebutuhan Anda agar saya dapat membantu Anda.”

Salim, “Dari kebutuhan dunia atau akhirat?”

Khalifah, “Tentunya dari kebutuhan dunia.”

Salim, “Saya tidak meminta kebutuhan dunia kepada Yang Memilikinya, bagaimanapun saya meminta kepada yang buka pemiliknya?”

Khalifah malu mendengar kata-kata Salim. Dia berlalu sambil bergumam, “Alangkah mulianya kalian dengan zuhud dan takwa wahai keturnan Al-Khathab, alangkah kayanya kalian dengan Allah. Semoga Allah memberkahi kalian sekeluarga.”

Tahun sebelumnya, Al-Walid bin Abdul Malik juga menunaikan ibadah haji. Ketika orang-orang telah turun dari Arafah, khalifah menjumpai Salim bin Abdillah di Muzdalifah. Ketika itu Ibnu Abdillah mengenakan pakaian ihram.

Al-Walid mengucapkan salam dan do’a, khalifah memandangi tubuh Salim yang terbuka, tampak begitu sehat dan kekar bagaikan sebuah bangunan yang kokoh.

Al-Walid, “Bentuk tubuh Anda bagus sekali, wahai Abu Umar, apakah makanan Anda sehari-sehari?”

Salim, “Roti dan Zaitun dan terkadang daging jika saya mendapatkannya.”

Al-Walid, “Hanya roti dan zaitun?”

Salim, “Benar.”

Al-Walid, “Apakah kamu berselera memakan itu?”

Salim, “Jika kebetulan aku tidak berselera maka aku tinggalkan hingga lapar hingga saya berselera terhadapnya.”

Salim tak hanya mirip dengan kakeknya, Al-Faruq Umar bin Khathab, dalam bentuk fisik dan kezuhudan terhadap dunia yang fana, namun juga dalam keberaniannya menyampaikan kalimat yang benar meski berat resikonya.

Beliau pernah menemu Hajjaj bin Yusuf untuk membicarakan tentang kebutuhan kaum muslimin. Hajjaj menyambutnya dengan baik, dipersilakan duduk di sisinya dan dihormati secara berlebihan. Beberapa saat kemudian beberapa orang dibawa ke hadapan Hajjaj, pakaiannya compang-camping, wajahnya pucat dan semua dalam keadaan dibelenggu. Hajjaj menoleh kepada Salim bin Abdullah dan menjelaskan, “Mereka adalah pembuat onar di muka bumi, menghalalkan darah yang telah Allah haramkan.”

Dia mengambil pedang dan menyerahkannya kepada Salim sekaligus memberi isyarat kepada orang pertama, dia berkata kepada Salim, “Bangkitlah dan tebaslah lehernya!”

Pedang itu diterima oleh Salim, beliau menghampiri orang yang dimaksud. Seluruh mata menghadap kepadanya untuk melihat apa yang hendak beliau lakukan. Salim berdiri di depan orang tersebut lalu bertanya,

Salim, “Apakah Anda muslim?”

Tahanan, “Benar saya muslim. Tapi apa perlunya Anda bertanya demikian? Lakukan saja apa yang diperintahkan kepada Anda!”

Salim, “Apakah Anda shalat shubuh?”

Tahanan, “Sudah saya katakan bahwa saya muslim. Mengapa Anda bertanya apakah saya shalat shubuh? Adkah orang muslim yang tidak melaksanakan shalat shubuh?”

Salim, “Saya bertanya, apakah Anda shalat shubuh hari ini?”

Tahanan, “Semoga Allah memberikan hidayah kepada Anda. Saya katakan “Ya.” Silakah Anda melaksanaka perintah orang zhalim itu, jika tidak tentulah dia akan marah kepada Anda.”

Salim bin Abdullah kembali ke hadapan Hajjaj. Sambil melemparkan pedang yang digenggamnya dia berkata, “Orang ini mengaku sebagai seorang muslim dan berkata bahwa hari ini sudah shalat shubuh. Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa shalat shubuh, dia berada dalam naungan Allah,’ maka saya tidak akan membunuh seseorang yang berada dalam perlindungan Allah.”

Hajjaj marah mendengarnya dan berkata, “Kami akan membunuhnya bukan karena meninggalkan shalat, melainkan karena ia membantu pembunuhan atas khalifah Utsman bin Affan.” Salim berkata, “Padahal ada orang yang lebih berhak untuk menuntut darah Utsman bin Affan daripada engkau.” Hajjaj pun diam tak mampu bicara.

Di antara yang menyaksikan kejadian itu pergi di Madinah dan menceritakan semua yang dilihatnya tentang Salim kepada ayahnya, Abdullah bin Umar. Ibnu Umar tak sabar ingin segera mendengar cerita orang tersebut sehingga bertanya mendesak. “Lalu apa yang dilakukan oleh Salim” orang ini menjelaskan, “Dia melakukan ini dan itu.”

Alangkah gembiranya Abdullah bin Umar. Beliau berkata, “Bagus! Bagus! Cerdas…cerdas..!”

Ketika khalifah beralih ke tangan Umar bin Abdul Aziz, khalifah baru itu segera mengirim surat kepada Salim bin Abdullah:

“Amma ba’du, Saya telah menerima ujian dari Allah untuk mengurusi permasalahan umat tanpa diminta atau dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan saya. Maka dengan ini saya memohon pertolongan Allah yang telah mengujiku agar berkenan menolongku. Jika surat ini sampai ke tangan Anda, saya minta agar Anda mengirimkan kepadaku buku-buku tentang Umar bin Khathab, perilaku dan keputusan-keputusannya sebagai khalifah. Saya ingin sekali mengikuti jejak beliau dan berjalan mengikuti jalan beliau, semoga Allah memelihara saya untuk ini. Wassalam.”

Setelah membaca surat tersebut, Salim bin Abdullah mengirim surat balasan:

“Telah samapi kepadaku surat Anda yang menyatakan bahwa Allah telah menguji Anda dengan kewajiban mengurus kaum muslimin tanpa Anda minta dan tanpa dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan Anda. Dan Anda menginginkan jalan yang telah dilalui Umar bin Khathab. Yang perlu Anda perhatikan dan ingat selalu bahwa Anda tidak hidup pada zaman Umar bin Khathab dan tidak didampingi seperti orang-orang yang mendampingi Umar bin Khathab. Tetapi ketahuilah, bila Anda mempunyai niat untuk berbuat baik dan benar-benar menginginkannya, niscaya Allah akan membantu Anda bersama para pejabat yang mendampingi Anda. Hal itu akan datang di luar perhitungan Anda, sebab pertolongan kepada hamba-Nya didasarkan pada niatnya. Bila berkurang niatnya pada kebaikan, maka akan berkurang pula pertolongan-Nya. A pabila nafsu Anda mengajak kepada sesuatu yang tak diridhai allah, maka ingatlah apa yang dialami oleh para penguasa sebelum Anda.

Maka perhatikanlah betapa rusaknya mata mereka karena hanya digunakan untuk melihat kenikmatan, perut mereka pecah karena terlalu kenyang dengan syahwat. Bayangkanlah seandainya jenazah mereka diletakkan di samping rumah dan tidak dimasukkan ke liang lahat. Tentulah kita akan sengsara karena baunya dan terkena penyakit karena bau busuknya. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”

Kehidupan Salim bin Abdullah bin Umar bin Khathab penuh dengan taqwa, akrab dengan hidayah, menjauhi kesenangan dunia dan godaannya, memperlakukannya sesuai dengan jalan yang diridhai Allah. Beliau makan makanan keras dan mengenakan pakaian dari bahan yang kasar, bergabung dengan pasukan muslimin untuk menghadapi Romawi, dan selalu berusaha membantu menyelesaikan permasalahan kaum muslimin.

Ketika ajal menjemputnya pada tahun 106 H, duka cita menyelimuti kota Madinah. Semua orang datang  untuk mengantar jenazah dan menyaksikan pemakamannya. Termasuk Hisyam bin Abdul Malik yang ketika itu berada di Madinah turun menghadiri pemakaman beliau.

Takjub dengan banyaknya lautan manusia yang mengantar jenazah Salim bin Abdillah, timbul rasa iri di hatinya sehingga dia bergumam, “Nanti akan terbukti berapa banyak manusia yang akan menghadiri pemakaman tatkala khalifah muslimin wafat di negeri mereka.” Kemudian dia berkata, “Kirimkanlah empat ribu pemuda ke perbatasan.” Maka tahun tersebut dikenal dengan tahun empat ribu.

Sumber: Buku “Mereka Adalah Para Tabi’in”, Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Pustaka At-Tibyan

Artikel: www.KisahIslam.net

Facebook Fans Page: Kisah Teladan & Sejarah Islam

Comments
All comments.
Comments