Kisah Tabi’in: Thawus bin Kaisan (02)

Sesaat setelah khalifah muslimin Sulaiman bin Abdul Malik bin Marwan menurunkan barang-barangnya di dekat baitul Atiq, lalu melepas kerinduannya ke Ka’bah, beliau menoleh kepada pengawalnya dan berkata, “Carilah seorang alim yang dapat memberikan peringatan kepada kita di hari mulia di antara hari-hari Allah ini.”

Pengawal itu berangkat menemui orang-orang yang tengah berhaji dan bertanya sesuai yang dikehendaki oleh khalifah. Di sini ada Thawus bin Kaisan, tokoh ulama ahli fikih yang paling jujur perkataannya dalam dakwah kepada Allah. Oleh karena itu temuilah dia.”

Pengawal itu menghampiri Thawus dan berkata, “Ikutlah dengan kami, Amirul Mukminin mengundang Anda wahai Syaikh!”

Tanpa membuang-buang waktu, Thawus mengikutinya. Menurut beliau bahwa seorang da’i tidak boleh menyia-nyiakan waktu bila ada kesempatan. Setiap kali diundang, mereka bersegera datang. Ia juga meyakini bahwa kalimat  yang utama untuk disampaikan adalah kalimat yang benar untuk meluruskan para penguasa yang menyimpang dan menjauhkan mereka dari kezhaliman dan kekejaman, sekaligus mendekatkan mereka kepada Allah.

Sesampainya di depan amirul mukminin, beliau memberi salam dan disambut dengan sangat ramah. Selanjutnya khalifah membimbing beliau menuju majelisnya lalu bertanya tentang persoalan manasik haji. Beliau mendengarkan dengan tekun dan penuh hormat.

Ketika beliau merasa bahwa Amirul Mukminin sudah mendapatkan keterangan yang diperlukan dan tak ada lagi yang dipertanyakan, Thawus berkata dalam hati, “Ini adalah majelis yang kelak engkau akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah, wahai Thawus.”

Thawus menoleh kepada khalifah dan berkata, “Wahai amirul mukminin, sesungguhnya ada suatu batu besar di tepi sumur jahannam. Batu itu dilemparkan ke dasar jahannam dan baru mencapai dasarnya setelah 70 tahun. Tahukah Anda, untuk siapakah sumur itu disediakan, wahai amirul mukminin?”

Khalifah berkata, “Tidak, duhai celaka, untuk siapa itu?” Thawus bin Kaisan menjawab, “Untuk orang-orang yang dipilih Allah sebagai penegak hukumnya namun dia menyelewengkannya.”

Tiba-tiba saja tubuh khalifah Sulaiman gemetaran sampai aku  menduga ruhnya akan terbang dari jasadnya. Setelah itu beliau menangis tersedu-sedu. Kemudian Thawus meninggalkan majelis dan pulang sedangkan khalifah mendo’akan supaya Thawus mendapatkan balasan  yang lebih baik dari Allah.

Tatkala khalifah berpindah ke tangan Umar bin Abdul Aziz, Thawus menerima surat dari Amirul Mukminin yang isinya, “Berilah aku nasihat, wahai Abu Abdirrahman!” Thawus bin Kaisan menjawab surat itu dengan sebaris kalimat singkat, “Bila Anda menghendaki seluruh amal Anda baik, maka angkatlah para pegawai dari orang-orang baik pula, wassalam.”

Demi membaca surat itu khalifah Umar bin Abdul Aziz berkata, “Cukuplah ini sebagai peringatan…cukuplah ini sebagai peringatan…”

Begitu pula ketika khalifah beralih ke tangan Hisyam bin Abdul Malik, banyak kejadian masyhur dan mengesankan antara dia dengan Thawus bin Kaisan.

Sebagai contoh adalah peristiwa ketika Hisyam datang untuk menunaikan haji. Begitu memasuki Tanah Haram, dia berkata kepada pemuka Makkah, “Carikah aku seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Mereka berkata, “Wahai amirul mukminin, para sahabat telah wafat satu demi satu hingga tak satu pun tersisa dari mereka.”  Hisyam berkata, “Jika demikian, carikan di antara ulama tabi’in!” Maka dipanggillah Thawus bin Kaisan.

Thawus bin Kaisan datang menghadap, beliau membuka sepatunya di tepi permadani, lalu memberi salam tanpa menyebut “amirul mukminin” dan hanya menyebut namanya saja tanpa menyebut atribut kehormatan. Kemudian beliau langsung duduk sebelum khalifah memberi izin dan mempersilakannya.

Rupanya Hisyam tersinggung dengan perlakukan tersebut, sehingga tampak kemarahan dari pandangan matanya. Dia menganggap hal itu kurang sopan dan tidak hormat, terlebih di hadapan para pejabat dan pengawalnya.

Hanya saja dia sadar bahwa saat itu ia berada di Tanah Haram, rumah Allah sehingga ia menahan dirinya lalu berkata,

Hisyam, “Mengapa Anda berbuat seperti itu wahai Thawus?”

Thawus, “Memangnya apa yang saya lakukan?”

Hisyam, “Anda melepas sepatu di tepi permadani saya, Anda tidak memberi salam kehormatan, Anda hanya memanggil namaku tanpa gelar lalu duduk sebelum dipersilakan.”

Thawus, “Adapan tentang melepas sepatu, saya melepasnya lima kali sehari di hadapan Allah Yang Maha Esa, maka hendaknya Anda tidak gusar dan gundah. Adapun saya tidak memberi salam tanpa menyebutkan gelar amirul mukminin, itu karena seluruh kaum muslimin membai’at Anda. Oleh karena itu, saya takut dikatakan pembohong apabila memanggil Anda sebagai amirul mukminin. Anda tidak rela saya menyebut nama Anda tanpa gelar kebesaran, padahal Allah memanggil nabi-Nya dengan nama-nama mereka, ‘Wahai Daud, wahai Yahya, wahai Musa, wahai Isa…’ Sebaliknya menyebut musuhnya dengan menyertakan gelar (“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa”).

Adapun mengapa saya duduk sebelum dipersilakan, ini karena saya mendengar Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata, “Bila engkau hendak melihat seorang ahli neraka, maka lihatlah seorang yang duduk sedangkan orang-orang di sekelilingnya berdiri.” Saya tidak suka Anda menjadi ahli neraka.” Amirul Mukminin mendengar penjelasan itu dengan serius.

Hisyam, “Wahai Abu Abdurrahman, berilah saya nasihat!”

Thawus, “Saya pernah mendengar Ali bin Abi Thalib berkata, ‘Di dalam jahannam terdapat ular-ular sebesar pilar dan kalajengking sebesar kuda. Mereka menggigit dan menyengat setiap penguasa yang tidak adil terhadap rakyatnya.”

Setelah itu beliau bangkit dari tempat duduknya lalu pergi.

Ada kalanya Thawus bin Kaisan mendatangi para penguasa untuk memberikan petunjuk dan nasihat. Adakalanya beliau mengecam dan membuat mereka menangis.

Putranya bercerita, “Suatu tahun kami berangkat dari Yaman untuk melaksanakan haji, kemudian singgah di suatu kota yang di sana ada seorang pejabat bernama Ibnu Najih. Dia adalah pejabat yang paling bejat, paling anti pati terhadap kebenaran dan paling banyak bergumul dalam lembah kebathilan.

Setibanya di sana, kami singgah di masjid kota itu untuk menunaikan shalat fardhu. Ternyata Ibnu Najih sudah mendengar kedatangan ayahku sehingga dia datang ke masjid. Dia duduk di samping ayahku dan memberi salam. Namun ayahku tidak menjawab salamnya, bahkan memutar punggung membelakanginya. Kemudian dia menghampiri dari sisi kanan dan mengajak biacara, tetapi ayahku mengacuhkannya. Begitu pula ketika dia mencoba dari arah kiri.

Aku  mendatangi Ibnu Najih, memberi salam lalu berkata, “Mungkin ayah tidak mengenal Anda.” Dia berkata, “Ayahmu mengenalku, karena itulah dia bersikap demikian terhadapku.” Lalu dia pergi tanpa berkata apa-apa lagi…

Sesampainya di rumah ayah berkata, “Sungguh dungu kalian! Bila juah kalian selalu mengecamnya dengan keras, tapi bila sudah berada di hadapannya, kalian tertunduk kepadanya. Bukankah itu yang dinamakan kemunafikan?”

Nasihat Thawus bin Kaisan tidak hanya khusus untuk khalifah atau pejabat dan gubernur saja, melainkan juga kepada siapa-siapa yang dirasa perlu atau bagi mereka yang menginginkan nasihat-nasihatnya.

Sebagai contoh adalah kisah  yang diriwayatkan oleh Atha’ bin Abi Rabah sebagai berikut:

Pernah suatu ketika Thawus bin Kaisan melihatku dalam keadaan yang tak disukainya, lalu berkata, “Wahai Atha’, mengapa engkau mengutarakan kebutuhanmu kepada orang yang menutup pintu di depanmu dan menempatkan penjaga-penjaga di rumahnya?” mintalah kepada yang sudi membuka pintu-Nya dan mengundangmu untuk datang, serta yang berjanji akan menepati janjinya.”

Thawus bin Kaisan pernah menasihati putranya, “Wahai putraku, bergaullah dengan orang-orang yang berakal karena engkau akan dimasukkan dalam golongan mereka. Jangan berteman dengan orang-orang bodoh, sebab bila engkau berteman dengan mereka, niscaya engkau akan dimasukkan  dalam golongan mereka, walaupun engkau tidak seperti mereka. Ketahuilah, bagi segala sesuatu pasti ada puncaknya. Dan puncak derajat seseorang terletak pada kesempurnaan agama dan akhlaknya.”

Begitulah, putranya Abdullah tumbuh dalam bimbingannya, hidup serta berakhlak seperti ayahnya itu. Maka bila khalifah Abbasiyah, Abu Ja’far Al-Manshur memanggil putra Thawus, Abdullah serta Malik bin Anas untuk berkunjung. Setelah keduanya datang dan duduk di hadapannya, khalifah memandang Abdullah bin Thawus seraya berkata, “Ceritakanlah sesuatu yang engkau peroleh dari ayahmu!” beliau menjawab, “Ayah saya bercerita bahwa siksa Allah yang paling keras di hari kiamat dijatuhkan kepada orang yang diberi-Nya kekuasaan tapi berlaku curang.”

Malik bin Anas berkata, “Demi mendengar ucapan tersebut, aku segera melipat pakaianku karena takut terkena percikan darahnya. Tapi ternyata Abu Ja’far hanya diam terpaku lalu kami berdua diizinkan pulang dengan selamat.”

Usia Thawus bin Kaisan mencapai seratus tahun atau lebih sedikit. Namun usia tua tidak mengubah sedikitpun ketajaman ingatan, kejeniusan pikiran dan kecepatan daya tangkapnya.

Abdullah Asy-Syami berkata, “Saya mendatangi rumah Thawus bin Kaisan untuk belajar sesuatu kepadanya, sedangkan aku belum mengenalnya. Ketika aku mengetuk pintu, keluarlah seseorang yang sudah tua umurnya. Aku memberi salam lalu bertanya, “Andakah Thawus bin Kaisan?” Orang tua itu menjawab, “Bukan, aku adalah putranya.”

Aku berkata, “Bila Anda putranya, maka tentulah syaikh itu sudah tua renta dan mungkin sudah pikun. Padahal saya datang dari tempat yang jauh untuk menimba ilmu dari beliau.” Putra Thawus berkata, “Jangan bodoh, orang yang mengajarkan Kitabullah tidaklah pikun. Silakan masuk!”

Aku pun masuk, sembari salam lalu berkata, “Saya datang kepada Anda karena ingin menimba ilmu dan mendengarkan nasihat Anda. Jelaskan secara singkat.” Thawus berkata, “Akan aku ringkas sepadat mungkin, insya Allah. Apakah engkau ingin aku menceritakan tentang isi Taurat, Zabur, Injil dan Al-Qur’an?”

Aku berkata, “Benar.” Beliau berkata, “Takutlah kepada Allah dengan rasa takut yang tiada bandingnya. Mohonlah kepada-Nya suatu permohonan yang lebih besar daripada rasa takutmu kepada-Nya. Dan senangkanlah orang lain sebagaimana engkau menyenangkan dirimu sendiri.”

Malam 10 Dzulhijjah 106 H, wafatlah seorang syaikh lanjut usia, yaitu Thawus bin Kaisan ketika tengah menunaikan haji, dari Arafah menuju Muzdalifah, pada perjalanannya yang keempat puluh kalinya.

Ketika itu, beliau menaruh perbekalannya, kemudian melakukan shalat maghrib dan isya. Setelah itu beliau merebahkan tubuhnya di atas tanah untuk berisitirahat. Pada saat itulah ajal menjemput beliau.

Beliau wafat ketika jauh dari keluarga, jauh dari negeri sendiri, demi bertaqarrub kepada Allah. Wafat dalam keadaan bertalbiah dan berihram untuk mencari pahala Allah, untuk keluar dari dosa-dosa sehingga kembali seperti saat dilahirkan dengan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ketika matahari terbit dan jenazah hendak diurus penguburannya, ternya jenazah sulit untuk dikeluarkan karena sesak orang yang hendak mengantarkan jenazahnya. Bahkan amir Makkah terpaksa mengirim pengawalnya untuk menghalau orang-orang yang mengerumuni jenazahnya agar bisa diurus sebagaimana mestinya. Orang  yang turus menshalatkannya banyak sekali, hanya Allah yang mampu menghitungnya, termasuk di dalamnya amirul mukminin Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan.

Sumber: Buku “Mereka Adalah Para Tabi’in”, Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Pustaka At-Tibyan

Artikel: www.KisahIslam.net

Facebook Fans Page: Kisah Teladan & Sejarah Islam

Comments
All comments.
Comments