Ternyata dia adalah seorang tua Habsyi yang berkulit hitam, keriting rambutnya dan pesek hidungnya. Apabila duduk laksana burung gagak berwarna hitam.
Di tengah perjalanan sa’i antara Shafa dan Marwah, kedua pemuda itu mendengar seruan para penyeru, “Wahai kaum muslimin,..tiada yang berhak berfatwa di tempat ini kecuali Atha’ bin Abi Rabah..jika tidak bertemu dengannya hendaknya menemui Abdullah bin Abi Najih.” Seorang dari pemuda itu langsung menoleh kepada ayahnya sembari berkata, “Petugas amirul mukminin menyuruh manusia agar tidak meminta fatwa kepada seorang pun selain Atha’ bin Abi Rabah dan temannya, namun mengapa kita tadi justru datang dan meminta fatwa kepada seorang laki-laki yang tidak memberikan prioritas kepada khalifah dan tidak pula member hak penghormatan khusus kepadanya?
Sulaiman berkata kepada putranya, “Wahai anakku, pria yang kamu lihat dan engkau melihat kami berlaku hormat di hadapannya tadilah yang bernama Atha’ bin Abi Rabah, orang yang berhak berfatwa di masjidil Al-Haram. Beliau mewarisi ilmu Abdullah bin Abbas dengan bagian yang banyak.” Kemudian beliau melanjutkan, “Wahai anakku carilah ilmu…karena dengan ilmu, rakyat bawahan bisa menjadi terhormat…para budak bisa melampaui derajat para raja…”
Para khalifah telah meminta kesediaan beliau untuk menjadi pendamping mereka, namun beliau tidak mengabulkannya. Karena beliau takut agamanya ternoda oleh dunianya. Namun demikian, terkadang beliau mengunjungi khalifah jika beliau merasa hal itu dapat mendatangkan manfaat bagi kaum muslimin maupun kebaikan bagi Islam.
Seperti dalam peristiwa yang dikisahkan oleh Utsman bin Atha’ Al-Khurasani. “Aku pergi bersama ayah untuk menghadapi Hisyam bin Abdul Malik, tatkala perjalanan kami telah dekat dengan Damsyik, tiba-tiba kami bertemu dengan orang tua yang menunggangi himar hitam, mengenakan baju lusuh dan memakai jubah yang telah usang, penutup kepala yang telah kusut melekat pula pada kepalanya. Pelana yang dipakai terbuat dari kayu yang murahan, aku tertawa geli karenanya. Lalu aku bertanya kepada ayah, “Siapakah orang ini?” Ayah berkata, “Diam kamu, dia adalah penghulu para ahli fikih di Hijaz Atha’ bin Abi Rabah.” Ketika telah dekat jarak kami dengannya, ayah bergegas turun dari bighalnya sedangkan Atha’ turun dari himarnya. Keduanya saling berpelukan dan saling menanyakan kabarnya, kemudian keduanya kembali dan menaiki kendaraannya. Mereka berjalan hingga berhenti di depan pintu istana Hisyam bin Abdul Malik. Keduanya diminta duduk hingga mendapatkan izin untuk masuk.
Setelah ayah keluar, aku bertanya kepadanya, “Ceritakanlah apa yang Anda lakukan berdua di dalam istana?” beliau berkata, “Tatkala Hisyam mengetahui bahwa Atha’ bin Abi Rabah berada di depan pintu, maka beliau bersegera dan mempersilahkan kami masuk. Demi Allah, aku tidak akan bisa masuk melainkan bersama Atha’. Demi melihat Atha’, Hisyam berkata, “Marhaban! Marhaban! Silahkan, silahkan…beliau terus menyambut silahkan…silahkan!” hingga Hisyam mendudukkan Atha’ di atas kasurnya dan menempelkan lututnya ke lutut Atha’. Ketika itu majelis dihadiri oleh para bangsawan, tadinya mereka bercakap-cakap namun seketika mereka menjadi diam.
Kemudian Hisyam menghadap Atha’ dan terjadilah dialog antara mereka berdua.
Hisyam: “Apa keperluan Anda wahai Abu Muhammad?”
Atha’: “Wahai amirul mukminin, penduduk Haramain, keluarga Allah dan tetangga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hendaknya mendapatkan pembagian rezeki dan pemberian.”
Hisyam: “Baik…wahai penulis, tulis bagi penduduk Makkah dan Madinah untuk menerima bantuan selama satu tahun.” (Lalu Hisyam bertanya lagi kepada Atha’), “Masih adakah keperluan lain wahai Abu Muhammad?”
Atha’: “Benar, wahai amirul mukminin, penduduk Hijaz dan penduduk Najd, asal mula Arab dan tempat para pemimpin Islam, janganlah diambil kelebihan sedekah mereka..”
Hisyam: “Baik…! Wahai penulis, tulis agar kita menolak penyerahan sedekah mereka.” Masih adakah keperluan yang lain wahai Abu Muhammad?”
Atha’: “Benar wahai amirul mukminin, ahluts tsugur (yang ribat fii sabilillah di perbatasan) mereka berdiri menjaga dari musuh, mereka membunuh siapapun yang menimpakan keburukan kepada kaum muslimin, hendaknya dikirim rezeki kepada mereka. Karena jika mereka terbunuh niscaya akan lenyaplah perbatasan.”
Hisyam: “Baiklah…! Wahai penulis, tulislah agar kita mengirim makanan kepada mereka.” Masih adakah keperluan lainnya wahai Abu Muhammad?”
Atha’: “Benar wahai amirul mukminin, ahli dzimmah, janganlah dibebani dengan apa-apa yang tidak mereka mampui, karena ketundukan mereka adalah kekuatan bagi kalian untuk mengalahkan musuh kalian.”
Hisyam: (berkata kepada penulisnya) “Wahai penulis, tulislah bagi ahlu dzimmah agar mereka tidak dibebani dengan apa-apa yang tidak mereka mampui.” Masih adakah keperluan yang lain wahai Abu Muhammad?”
Atha’: “Benar…bertakwalah kepada Allah atas dirimu wahai amirul mukminin, ketahuilah bahwa engkau diciptakan seorang diri, engkaupun akan mati seorang diri, dikumpulkan di makhsyar seorang diri, dihisab seorang diri, dihisab seorang diri, dan demi Allah engkau tidak melihat siapapun…!”
Hisyam menundukkan kepalanya sambil menangis, lalu berdirilah Atha’ dan aku pun berdiri bersama beliau. Namun, ketika kami melewati pintu tiba-tiba ada seseorang yang membuntuti beliau sambil membawa sebuah bejana yang aku tidak tahu apa isinya sembari mengatakan, “Sesungguhnya amirul mukminin menyuruhkan untuk menyerahkan ini kepada Anda!” Atha’ menjawab, “Tidak.” Lalu beliau membaca ayat:
“Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahkan tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta Alam,” (Asy-Syu’ara: 109).
Demi Allah, beliau masuk ke istana khalifah dan keluar dari sisinya sementara beliau sama sekali tidak minum seteguk air pun.
Pada gilirannya Atha’ bin Abi Rabah dikaruniai umur panjang hingga 100 tahun, beliau penuhi umurnya dengan ilmu dan amal, beliau isi dengan kebaikan dan takwa, beliau sucikan dirinya dengan zuhud terhadap apa yang dimiliki manusia, dan mengharap apa yang ada di sisi Allah.
Begitu ajal menjemput, alangkah ringan beban dunia yang dipundaknya. Karena kebanyak bekalnya adalah amal untuk akhirat. Ia bawa pahala 70 kali haji dan 70 kali wukuf di Arafah. Beliau memohon kepada Allah Ta’ala keridhaan dan surga-Nya dan memohon perlindungan kepada-Nya dan kemurkaan-Nya dan siksa neraka.”
Sumber: Buku “Mereka Adalah Para Tabi’in”, Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Pustaka At-Tibyan, hlm. 15-24
Dipublikasikan kembali oleh: www.KisahIslam.net
Facebook Fans Page: Kisah Teladan & Sejarah Islam